Waspada!! “Economic Bubble” Sebagai Indikator Awal Krisis Moneter : Bisa Jadi, Indonesia Justru Sedang Diambang Krisis Keuangan!
Gelembung Ekonomi atau “Economic Bubble”
dapat muncul setiap saat, tanpa didahului terjadinya ketidakpastian
harga dan aksi spekulasi. Fenomena globalisasi membuat krisis ekonomi di
suatu negara langsung menciptakan ancaman krisis serupa di seluruh
negara di dunia. Janganlah kita mudah terlena dengan indikasi ekonomi
makro yang gemilang. Namun sesungguhnya keropos di dalam.
Ditengah krisis dunia sejak tahun 2008
yang akhirnya berkembang secara global termasuk di AS dan Eropa, namun
justru pendapatan perekonomian dan daya beli rakyat dibeberapa negara
seperti Cina, India dan Indonesia semakin tinggi.
Banyak statistik membuktikan bahwa rakyat
Indonesia semakin makmur, dibidang otomotive dan property misalnya,
kedua jenis produk itu dibeli layaknya “kacang goreng”.
Di dunia otomotif, dari motor hingga
mobil-mobil mewah berseliweran di jalan, hingga blanko STNK pun habis
tanpa stok saat mengurus perpanjangan STNK dan harus menunggu beberapa
bulan ke depan, gila! ini terjadi hanya karena membludaknya pembelian
otomotif di Indonesia.
Masalah
macet? bukan lagi terjadi di kota besar, saat Lebaran misalnya, macet
sudah seantero pulau-pulau besar di Nusantara, melalui jalan-jalan antar
provinsi di tiap pulaunya.
Harga properti dan tanah juga naik
gila-gilaan, kawasan elite di Menteng Jakarta misalnya, pada periode Mei
2013 tiap satu meter persegi sudah mencapai hingga Rp. 100 juta lebih.
Tapi harga setinggi itupun tetap dibeli,
harga-harga perumahan, apartemen dan properti lainnya di Indonesia juga
semakin naik tanpa patokan yang jelas, tapi tetap dibeli dan terbeli
oleh masyarakat. Luar biasa daya beli masyarakat pada saat ini.
Masih ingat bagaimana orang-orang
golongan ekonomi menengah ke atas dengan perhiasan mencolok serta gadget
terbaru yang digenggamnya, masih mau dan rela mengantri di mall-mall
sepanjang lebih dari 100 meter hanya untuk dapat membeli sebuah sandal
merk Crocs?
Masih
ingat orang berebut mengantri panjang bagaikan ular di setiap ada
peluncuran handphone keluaran terbaru dengan harga discount?
Harga sebuah sandal atau handphone yang
kelewat mahal “tak masuk akal” jauh dari biaya produksi hanya ada di
Indonesia, karena masyarakatnya sangat konsumtif terhadap merk-merk
“kelas dunia” tertentu diatas negara-negara lainnya.
Sehingga, banyak produsen handphone dan
gadget meluncurkan produk terbarunya justru di Indonesia. Selain
konsumtif, Indonesia memang tak berdampak signifikan oleh krisis monetar
dunia yang belum pulih hingga kini.
Indonesia merupakan salah satu market
atau pasar potensial di dunia dengan jumlah penduduk 250 juta, yang
nyaris semuanya memakai barang import. Berbeda dengan banyak negara lain
yang penduduknya jauh lebih banyak dibanding Indonesia, namun warganya
tidak begitu konsumtif apalagi terhadap suatu brand atau merk seperti
warga Indonesia.
Namun janganlah justru senang, BISA JADI
inilah salah satu indikator awal krisis moneter Indonesia sebentar lagi
untuk ke depannya, ketika harga-harga naik tanpa patokan, ketika rakyat
tetap membelinya, Economic bubble! Mirip Amerika Serikat saat terpuruk ekonominya. Kredit macet perumahan tak terkira. PREPARE! Economic bubble ahead!
Gelembung ekonomi (economic bubble),
atau gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah “perdagangan
dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai
intrinsiknya”.
Dalam kata lain, memperdagangkan produk
atau aset dengan harga yang jauh lebih tinggi atau lebih mahal daripada
nilai fundamentalnya!
Walaupun beberapa ahli ekonomi menyangkal
adanya gelembung ekonomi, tapi penyebab gelembung ekonomi tetap menjadi
tantangan untuk diteliti bagi mereka yang yakin bahwa harga aset sangat
sering menyimpang dari nilai intrinsiknya.
Meskipun ada banyak penjelasan tentang
penyebab gelembung ekonomi, namun belakangan ini diketahui bahwa
gelembung ekonomi dapat muncul bahkan tanpa didahului ketidakpastian,
spekulasi, atau rasionalitas terbatas!
Penjelasan lain mengatakan gelembung
ekonomi mungkin akhirnya disebabkan oleh proses koordinasi harga atau
norma-norma sosial yang baru muncul.
Pengamatan nilai intrinsik sering sulit
dilakukan dalam keadaan nyata di pasar, sehingga gelembung yang terjadi
sering hanya dapat dikenali dengan pasti secara retrospektif, ketika
terjadi penurunan harga secara tiba-tiba.
Keadaan anjloknya harga seperti itu sering disebut juga sebagai Keruntuhan (crash) atau “pecahnya gelembung” (boom economic).
Fase “boom economic” maupun
resesi dalam suatu ekonomi gelembung adalah contoh-contoh dari mekanisme
“umpan balik positif” yang membedakannya dari mekanisme “umpan balik
negatif” yang menentukan harga keseimbangan dalam keadaan pasar normal.
Harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat
berfluktuasi dengan tidak menentu, dan menjadi tidak mungkin untuk
memprediksinya hanya berdasarkan penawaran dan permintaan saja.
Ahli ekonomi menggunakan istilah
“gelembung” untuk peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan
harapan kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental
ekonomi dan lazimnya diikuti kenyataan yang bertolak belakang dari
harapan, dan anjloknya harga-harga.
Contoh-Contoh Gelembung Ekonomi di Indonesia dan di Dunia
Sebagai contoh-contoh kecil, masih
ingatkah Anda saat mewabahnya berbagai produk “dengan harga gila dan
aneh” di Indonesia yang tak masuk akal beberapa tahun lalu?
Masih ingat saat Indonesia evoria dan
demam ikan Louhan? Seekor ikan Louhan bisa berharga ratusan juta hingga
milyaran, hanya karena terdapat “mirip tulisan” tertentu pada corak
berwarna gelap yang ada disamping badannya dan hanya dapat terlihat
berupa titik-titik abstrak disamping badannya, dengan begitu harganya
mencapai milyaran rupiah.
Begitu pula dengan ikan Louhan yang
bentuk fisiknya cacat sejak lahir, ketidaksempurnaan bentuk tubuhnya
juga dapat dihargai jutaan rupiah.
Lalu, bagaimana gilanya harga seekor
tokek? Tokek yang diyakini dapat menyembuhkan AIDS, maka tokek dijual
mahal, tokek merupakan binatang yang saat itu banyak dicari
keberadaannya oleh sejumlah masyarakat.
Pasalnya, jenis reptil yang masuk
golongan cecak besar suku Gekkonidae itu memiliki harga jual tinggi di
pasaran. Harga tokek yang memiliki berat 4 ons bisa dijual lebih dari Rp
500 juta rupiah hingga milyaran rupiah.
Dengan iming-iming akan mendapatkan
keuntungan besar, sejumlah masyarakat berlomba-lomba untuk berbisnis
tokek. Dari tokek kecil dibeli dengan harga mahal, lalu dijual lagi
dengan harga lebih mahal, begitu seterusnya, selalu dibeli oleh orang
yang bukan membutuhkannya, tapi hanya karena bisnisnya.
Hingga pada pembeli tokek terakhir
inilah, tokek hasil pembeliannya itu akhirnya tak laku lagi dijual, tak
ada pembeli lain yang berani membelinya dengan harga sangat tinggi. Yang
laku untuk diekspor justru yang hanya berukuran biasa.
Bagaimana pula dengan harga sebuah
tanaman Anthurium beberapa tahun lalu? Gelembung harga hingga ratusan
juta rupiah tanaman talas-talasan (Aracaceae) berlabel Anthurium, yang booming pada sekitar tahun 2004-2007, membuat beberapa kalangan masyarakat kaya mendadak, dan sebaliknya, miskin mendadak!
Itu terjadi karena migrasi tingkat
pendapatan, dari kalangan pejabat pemerintah yang kaya dan berpunya dari
perkotaan dengan tabungannya jutaan rupiah, berpindah ke kalangan
petani bunga di desa pedalaman dan kaki pegunungan, yang bahkan
sebelumnya tak paham caranya bikin rekening tabungan di bank (waktu itu
tak banyak orang desa punya rekening, bank biasanya cuma ada di kota).
Penawaran suplai terbesar tamanam yang
datang dari desa-desa, dan permintaan terbesar datang dari perkotaan,
atau ibu kota Jakarta, yang kebanyakan tidak mengerti hukum ekonomi
pasar, permintaan dan penawaran, serta rekayasa sosial kelangkaan
komoditas (oleh para pemain lama di pasar), untuk mengendalikan tingkat
harga.
Bagaimana bisa tanaman sejenis talas ini, Anthurium,
yang biasanya tumbuh liar, atau ditanam sebagai penghias ruangan di
rumah-rumah itu harganya bisa membumbung sampai puluhan kali lipat dari
tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia pada umumnya?
Semua itu karena setiap barang bisa
dihargai atau divaluasi oleh pasar, dan pasar dibangun dari dua komponen
utama, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Kurva akan berusaha mencari tingkat keseimbangan (equilibrium), antara permintaan dan penawaran, dan secara ekonomi pergeseran itu bisa sangat liar, tak terkendali.
Gelembung ekonomi tanaman talas Anthurium
ini sebenarnya model kasus yang meniru persis kasus gelembung ekonomi
Bunga Tulip di Belanda, pada periode 1636- 1637, tahun yang sama
awal-awal kapal dagang VOC mendarat di tanah Jawa.
Kasusnya seakan menggelikan, konyol tapi nyata, oleh karena itu pakar ekonomi sering melabelnya dengan : Teori Kegilaan Massal, atau Kebodohan Besar, saat manusia bisa berlomba membeli bunga atau tanaman, dengan harga yang setara dengan rumah mewah, di zamannya.
Tulip
sebenarnya bukanlah tanaman asli Belanda (di dataran rendah/
Nederland), walaupun mungkin sampai sekarang menjadi ikon utama negeri
itu, selain kincir angin.
Tulip aslinya dari kawasan Asia Tengah,
yang pertama kali dikultivasikan pada sekitar tahun 1000, oleh para
botanis dan ahli pertamanan Kesultanan Turki Usmaniyah.
Popularitas Tulip sebagai komoditas
dengan nilai ekonomi meningkat, dengan bertambah eratnya relasi
perdagangan antara Turki Usmaniyah dengan kerajaan-kerajaan di tanah
Eropa, utamanya Tahta Suci Romawi.
Kultivasi Tulip di Belanda dimulai oleh
satu orang botanis, mantan ahli taman Kaisar Maximilian II, yang
membangun taman botani kerajaan di Wina, Austria, bernama Claudius
Clusius. Pada 1594, Tulip tumbuh pertama kali di tanah Eropa, setahun
setelah kedatangan Claudius di Belanda.
Selama periode 1594 sampai 1637 Tulip
menjadi komoditas ekonomi berharga tinggi di Eropa, simbol status
sosial, dan tentunya langka, karena ini syarat pertama sebuah barang
bisa dimainkan kurva equilibrium-nya.
Bunga Tulip yang indah menjadi simbol
sosial kalangan atas, para bangsawan dan borjuis Eropa, membuat
permintaan terus meningkat pesat, dan sesuai hukum pasar, maka penawaran
harus mengimbangi untuk terbentuknya harga yang disepakati.
Tumbuhnya permintaan Tulip jauh lebih
cepat daripada tingkat produktivitasnya. Siklus hidup Tulip butuh 7
sampai 12 tahun untuk pembibitan hingga panen bunga.
Untuk mengendalikan harga Tulip, pedagang
Tulip menggunakan cara baru, yaitu dengan model surat berharga, yang
dikeluarkan setiap musim dingin, hingga pembeli bisa mendapatkan
produknya di musim panas.
Surat berharga itu dibuat berdasarkan prediksi kualitas bibit, dan tentunya prediksi harga yang pantas di masa depan, atau subprime lending.
Peredaran instrumen transaksi, berupa surat hutang, membuat peningkatan
nilai agregat nominal hutang, yang tidak diimbangi dengan transaksi
riil, pertukaran barang (Tulip) dengan uang (alat tukar resmi).
Lambatnya siklus produksi Tulip yang
sangat tidak sebanding dengan jumlah pertumbuhan permintaannya, sangat
berkontribusi untuk terjadinya gelembung ekonomi yang berpuncak pada
tahun 1636- 1637.
Pada awalnya yang berjudi dengan
pertumbuhan harga Tulip hanya kalangan pedagang, lalu demam Tulip ini
merambah ke kalangan bangsawan dan orang kaya, bahkan masyarakat umum,
karena adanya harapan bahwa pembelian hari ini, akan bisa dijual dengan
harga berlipat pada bulan- bulan berikutnya.
Pada Januari 1637, harga sepucuk Tulip
menyentuh harga 6000 Florins atau setara 1,8 juta USD pada masa kini
(kurs April 2013) sedangkan pendapatan perkapita di Belanda saat itu di
angka 150 Florins atau setara 45,000 USD (kurs April 2013 ).
Pada Februari 1637, terjadi penjualan
Tulip dalam jumlah besar yang diikuti dengan panik massal penjualan stok
Tulip secara beruntun oleh para pelaku pasar, harga Tulip pun anjlok,
sama dengan harga seonggok bawang putih, di kala itu.
Talas Anthurium
jelas punya kesamaan model kasus, banyak petani di kaki gunung yang
kaya mendadak, karena ulah spekulan di perkotaan. Namun selebihnya,
banyak ibu- ibu istri pejabat, yang telanjur menanamkan uangnya dengan
harapan akan menangguk keuntungan berlipat, jatuh merugi.
Nilai Anthurium tertinggi yang
ditawarkan pernah sampai di titik harga Rp. 300 juta rupiah, dengan
perbandingan rata-rata upah minimum regional Jawa Tengah (tempat
terbanyak petani Anthurium untuk perkotaan) perkapita hanya Rp. 12 juta
rupiah, 25 kali lipat.
Secara agregat nominal, persentase rasio,
atau skala ekonomi memang tidak sebesar “Tulipmania” 1636- 1637 di
Belanda, tapi kasus Anthurium 2006- 2007 di Jawa Tengah ini cukup mampu membolak-balik status sosial ekonomi beberapa kalangan.
Siapa yang diuntungkan dari kasus gelembung semacam bunga Tulip dan Anthurium ini?
Yang diuntungkan tentunya adalah para
spekulan yang tahu benar kapan saatnya membeli dan menjual stok
barangnya, mereka yang mendengar pertama kali saat harga masih murah,
dan menjualnya kembali pada titik harga tertinggi.
Siapa yang dirugikan? Tentunya adalah
“para pengekor” yang membeli saat harga mendekati puncak, dan menjual
stoknya, saat harga barang sudah jatuh, menjauhi titik tertinggi harga
pasar, mirip fenomena jual-beli tokek.
Menariknya kurva parabol pertumbuhan
persentase marjin, dalam kasus- kasus gelembung ekonomi, selalu dibumbui
dengan variabel psikologi pelaku pasar, misalnya: dorongan memiliki
simbol status sosial pergaulan, hasrat meraih keuntungan berlipat atau
bumbu meta-fisikal segala, tentang doa-doa yang dikabulkan, bahwa tujuh
turunan generasi akan kaya raya, tanpa perlu lagi bekerja.
Ya, manusia ternyata tetap rasional,
selama kondisi psikisnya juga stabil dan itu bukan perkara yang mudah
untuk dikendalikan, apalagi jika yang dimaksud adalah kondisi psikologi
banyak manusia, komunal.
Kasus gelembung ekonomi bisa terjadi
karena para pelaku pasar, para manusia yang sebenarnya adalah makhluk-
makhluk yang lebih dominan sisi psikis daripada kognitifnya (rasio).
Sisi- sisi dasar psikis manusia yang sering digunakan sebagai “tombol
ajaib”, untuk membuat pasar dinamis adalah: rasa takut dan harapan masa
depan lebih baik.
Komodifikasi rasa takut (fear) dan harapan (hope)
akan selalu dimainkan oleh segelintir kecil manusia, untuk
mengendalikan sebagian besar manusia lain, dalam kasus ini adalah untuk
mengendalikan kondisi psikologis komunal pelaku pasar.
Investasi terbaik adalah kembali ke diri
sendiri, yaitu untuk memiliki pengetahuan dan keahlian sebanyak yang
kita bisa serta perlukan dan membaca perilaku sosial masyarakat tempat
kita hidup sehingga mampu menentukan posisi, apakah akan mengikuti arus
kebodohan massal, memperingatkan mereka, atau tidak ikut sama sekali dan
tidak terlibat dalam penanggukan keuntungan, ataupun kerugian besar,
dalam waktu sekejap.
Di kasus semacam inilah kapitalisasi
informasi menemukan nilai transaksional yang bisa dikalkulasi dan
divaluasi, bukan sekedar jargon- jargon kosong tentang abad informasi,
yang kadang justru susah dipahami publik awam.
Tulip mania di Belanda (1646), ikan mujair jenis Lohan, cicak besar si Tokek, tanaman semak Anthurium, dan gelembung saham lainnya adalah contoh tipikal dari gelembung spekulasi. Di Jepang, penggelembungan harga aset terjadi pada akhir 1980-an.
Bahkan krisis ekonomi di Amerika Serikat yang dimulai tahun 2008 lalu juga diawali oleh economic bubble,
dimana rakyatnya mempunyai daya beli yang tinggi serta suku bunga yang
tinggi, hingga akhirnya tak lagi mampu membayar kredit apapun, termasuk
kredit rumah yang tak terkira jumlahnya.
Tautan jurnal tentang Tulip mania 1636-1637 dapat anda unduh sebagai bahan perbandingan dan study (format PDF): University of Chicago JSTOR, UCLA , Maurits van Der Veen, University of Georgia, Scott Nicholson
Beberapa kasus krisis ekonomi yang berawal dari Economic Bubble atau Gelembung Ekonomi lainnya:
- Tulip mania (berpuncak pada Februari 1637)
- The South Sea Company (1720)
- Mississippi Company (1720)
- Spekulasi saham kereta api Inggris (1840-an)
- Spekulasi tanah di Florida 1920-an (1925)
- Gelembung ekonomi Amerika 1920-an (Roaring Twenties), (sekitar 1922-1929)
- Nifty Fifty, akhir 1960-an dan awal 1970-an
- Spekulasi saham Poseidon, awal 1970-an
- Penggelembungan harga aset di Jepang (1986-1990)
- Krisis finansial Asia 1997
- Gelembung dot-com (1995–2000)
- Gelembung perumahan Amerika Serikat (2005-2008)
Potensi Gelembung Ekonomi
Kalangan pengusaha dan pelaku ekonomi di
tanah air mendapat warning penting pertengahan Mei 2013 lalu dari Wakil
Presiden Boediono. Saat membuka World Ceramic Tiles Forum di
Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (30/6/13), wapres mengingatkan pelaku
ekonomi tentang kemungkinan terjadinya ’’gelembung ekonomi’’.
Selama ini, ahli
ekonomi menggunakan istilah ’’gelembung’’ untuk menyebut fenomena
peningkatan harga aset secara ekstrem berdasar harapan kenaikannya pada
masa depan tanpa dukungan fundamental ekonomi kuat.
Secara akademis,
gelembung ekonomi, spekulatif, atau keuangan juga sering diartikan
sebagai ’’perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat
berbeda dengan nilai intrinsiknya’’.
Dalam konteks negara, kebijakan yang
terlalu mengejar pertumbuhan jangka pendek dan melupakan jangka menengah
hingga panjang bisa menimbulkan gelembung ekonomi.
Dengan begitu, dalam mengambil kebijakan
ekonomi makro, pemerintah akan mengarahkan kepada upaya menghindari
terjadinya kenaikan harga barang secara tidak rasional.
Perekonomian Indonesia pada 2010 lalu memang sama sekali tidak mengindikasikan gejala ke arah adanya penggelembungan.
Pertumbuhan ekspor dan investasi di
sektor riil meningkat dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional
pada kuartal pertama tahun 2013. Belum lagi pertumbuhan kredit dan
penempatan dana masyarakat di perbankan juga meningkat pesat.
Namun, mencermati peringatan wapres yang
juga memiliki kapasitas tak diragukan di bidang ekonomi moneter
sangatlah penting. Apalagi, belakangan diketahui gelembung ekonomi dapat
muncul setiap saat, tanpa didahului terjadinya ketidakpastian harga dan
aksi spekulasi.
Fenomena globalisasi membuat krisis
ekonomi di suatu negara langsung menciptakan ancaman krisis serupa di
seluruh negara di dunia. Setelah krisis finansial global 2008 yang
berawal dari Amerika Serikat, dunia kini dibayangi dampak krisis baru
akibat terguncangnya perekonomian Yunani.
Jika penyebaran dampak
krisis Yunani juga tak bisa dicegah, virusnya bisa mengglobal.
Akibatnya, semua negara kini mengelola perekonomian masing-masing dengan
penuh hati-hati.
Apa yang disampaikan Boediono merupakan
bagian dari kehati-hatian tersebut. Peringatan itu juga sebagai isyarat
agar kita tidak mudah terlena dengan indikasi ekonomi makro yang
gemilang. Namun sesungguhnya keropos di dalam.
Kenyataan bahwa penyumbang terbesar
pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi masyarakat, sebuah aset
berharga yang harus terus dijaga. Caranya, segala upaya kebijakan
ekonomi harus fokus pada pertumbuhan sektor riil. Tak hanya pertumbuhan
di sektor keuangan, perbankan, saham, dan sektor finansial yang terbukti
beberapa kali semu serta gampang menipu.
ADB Ingatkan Indonesia Waspadai Gelembung Ekonomi
Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan
peningkatan arus modal pada pasar obligasi lokal di beberapa negara
berkembang Asia Timur dapat mendorong risiko terjadinya gelembung (bubble), walaupun hal tersebut menunjukkan adanya minat investor terhadap kawasan ini.
“Kawasan ini lebih tangguh dibandingkan
dulu, namun pemerintah harus berhati-hati terhadap pembalikan arus modal
yang dapat menyebabkan bubble, apabila perekonomian di AS dan
Eropa mulai membaik,” ujar Ekonom Senior ADB untuk Integrasi Ekonomi
Regional, Thiam Hee Ng, dalam keterangan pers tertulis yang diterima di
Jakarta, Senin (18/3/13).
Sejak 1990, investor
swasta telah menanamkan modal di kawasan Asia Timur karena suku bunga
rendah dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara maju. Kondisi
tersebut makin meningkat hingga akhir tahun 2012 lalu.
Kawasan negara berkembang di Asia Timur
dalam laporan ini mencakup Indonesia, China, Hong Kong, Korea Selatan,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
ADB mencatat pada akhir 2012, pasar
obligasi di negara Asia Timur mencakup dana senilai 6,5 triliun dolar AS
atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2011
yang hanya tercatat 5,7 triliun dolar AS.
Situasi tersebut menunjukkan adanya
peningkatan sebesar 12,1%. Hal yang sama terlihat dari pasar obligasi
korporasi yang mengalami peningkatan hingga 18,6% atau sebesar 2,3
triliun dolar AS.
Contoh
kondisi di pasar obligasi Indonesia, di mana kepemilikan obligasi
pemerintah sebesar 33% dikuasai investor luar negeri hingga akhir 2012.
Bandingkan dengan kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Malaysia yang mencapai 28,5% pada akhir September 2012.
Pasar obligasi lokal Indonesia meningkat
pada triwulan IV 2012 sebesar 9,7% bila dibandingkan dengan kondisi
tahun lalu atau meningkat 3,3% dibandingkan akhir September 2012.
Sedangkan obligasi korporasi Indonesia meningkat hingga 19 miliar dolar
AS dan obligasi pemerintah mencapai 92 miliar dolar AS.
Pasar obligasi pemerintah tumbuh 6,6% year on year karena penerbitan Surat Perbendaharaan Negara (SPN), treasury bill dan Surat Utang Negara (SUN). Penerbitan obligasi korporasi bahkan meningkat lebih tinggi 27,6%.
Waspadai Bubble Ekonomi Indonesia!
Pengamat ekonomi, yang juga pendiri CReco
Research Institute, M Chatib Basri, mengingatkan Pemerintah Indonesia
akan terjadinya imbas gelembung pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy) dengan mengalirnya dana masuk ke Indonesia sebagai dampak kenaikan pagu utang Pemerintah AS sebesar 1,2 triliun dollar AS.
Sebab, dana yang mengalir deras ke pasar
uang, pasar modal, dan perbankan Indonesia harus bisa diserap untuk
menggerakkan sektor riil dan investasi jangka panjang. Jangan hanya
bertengger di pasar uang, pasar modal, atau bank belaka.
“Kalau hanya numpang di situ saja, itulah yang menyebabkan peningkatan bubble economy,”
tandas Muhammad Chatib Basri Selasa (2/8/2011) yang akhirnya dilantik
oleh Presiden SBY sebagai menteri keuangan pada 20 Mei 2013 lalu
menggantikan Agus Martowardojo yang dicopot dari jabatannya karena
terpilih menjadi Gubernur Bank Indonesia.
SBY melihat sosok Chatib sebagai seorang
ekonom yang memiliki pengalaman dan penugasan yang luas. SBY juga memuji
prestasi Chatib selama memimpin BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)
dalam setahun terakhir.
“Investasi di Indonesia tumbuh secara
signifikan, ini sangat penting kontributor di kala ekspor kita dan
ekspor negara-negara lain mengalami kemerosotan,” puji SBY.
Chatib Basri pernah bertugas sebagai
stafsus menteri keuangan, sebagai deputi menkeu untuk tugas-tugas di
G20. Sebelum dipercaya menjabat sebagai Kepala BKPM, Chatib menjabat
sebagai wakil ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN).
Menurut Chatib, Indonesia memang bisa
mendapatkan dana murah untuk pendanaan jangka panjangnya. Namun, apakah
bisa diserap secara optimal?
“Syaratnya, pemerintah
juga harus segera membangun infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan
agar investor mau mengeluarkan dananya untuk investasi jangka panjang
ataupun foreign direct invesment (FDI). Tanpa mewujudkan itu, yang terjadi cuma bubble. Itulah risiko yang harus diwaspadai,” kata M. Chatib Basri.
Gelembung atau “‘pertumbuhan ekonomi yang
semu’” akibat masuknya dana asing justru akan meningkat jika dana
tersebut tak bisa untuk menggerakkan sektor riil. “Karena itu,
pemerintah harus segera merealisasi regulasi yang belum ada, seperti RUU
Pertanahan, pembebasan lahan, dan koordinasi yang semakin baik serta
perbaikan iklim investasi,” kata Chatib mengingatkan.
Hutang AS Yang Tak Mampu Dibayar Masih Merupakan Ancaman Ekonomi Global!
Amerika Serikat hampir pasti lolos gagal bayar (default)
setelah DPR mereka menyetujui kesepakatan peningkatan batas utang
pemerintah federal, sejak tahun 2011. Meski begitu, para kreditor AS
menilai, utang AS yang menggunung dan dollar yang terlalu dominan masih
tetap mengancam ekonomi global.
NSalah satu kreditor terbesar yang khawatir dengan kemampuan AS dalam membayar utang adalah China. Surat kabar utama di China, People’s Daily, mengatakan, kredibilitas obligasi Pemerintah AS sudah hancur sejak krisis sub-prime mortgage.
Namun, kebanyakan negara lain di dunia belum bisa menemukan cara untuk melepaskan ketergantungan pada dollar.
“Meski kepercayaan pada utang AS turun dan lembaga rating akan menurunkan rating AS, kredibilitas dasar tidak berubah. Dollar tetap menjadi mata uang yang kuat,” kata surat kabar itu.
Tapi memang realita yang telah terjadi
sesungguhnya terbukti, bahwa semua produk dunia didominasi dan dijual
belikan dengan patokan mata uang dollar Amerika.
Memang itu yang diinginkan oleh para elit
dunia, agar perekonomian selalu berada dan tergantung dengan dollar
Amerika. Jangan macam-macam jika ada negara atau pemimpin negara di
dunia ini yang tidak menggunakan dollar Amerika, mereka akan dikucilkan
di dunia perekonomian secara global, dulu mirip Libya dan Irak, sekarang
ini mirip Iran dan Korea Utara.
Dengan
adanya ketergantungan dunia terhadap dollar Amerika, maka para elite
dunia akan dapat lebih mudah mengontrol perekonomian dan keuangan dunia.
Maka dengan mudah pula dapat mengontrol manusianya, bahkan rakyat
didalam suatu atau beberapa negara lainnya untuk dapat menentang
pemerintahannya akibat krisis berkepanjangan dan menyusahkan kehidupan
rakyatnya. Padahal apa yang terjadi di negara tersebut adalah akibat
“kebijaksanaan” AS dan negara-negara sekutunya sendiri.
Negara mana yang akan makmur, negara mana
yang akan bangkrut, negara mana yang akan krisis, negara mana yang akan
tergantung dengan ekonomi negara lainnya, dan
pengontrollan-pengontrollan perekonomian sejenisnya secara praktis dapat
dirancanakan dan direalisasi.
Jangan pula kita pikir bahwa Amerika dan
Eropa terkena krisis berkepanjangan artinya para elite mereka juga
terkena dampaknya, tidak! Para elit jauh-jauh sangat kaya, apapun
krisisnya, bagaimanapun level krisis tersebut, mereka tetap kaya dengan
cadangan emas jutaan ton dari hasil pertambangannya seantero dunia,
hanya ditukar dengan kertas, emas dibeli (baca: ditukar) dengan kertas.
Yang terkena krisis di Eropa dan Amerika
Serikat, sejatinya adalah rakyatnya, bukan para elitenya. Namun
pemerintahan rezim monarki dan kapitalis AS justru menaikkan pajak
rakyatnya dengan alasan untuk membayar hutang negara, yang padahal
hutang tersebut dapat dibayar sendiri oleh mereka, para elite pengatur
negara dan rakyatnya.
Zhu Baoliang, kepala ekonom di lembaga
pemerintah State Information Centre, mengatakan, pengurangan belanja AS
sebesar 1 triliun dollar AS selama 10 tahun ke depan tidak cukup untuk
mencegah krisis utang pada masa yang akan datang. “Gagal bayar AS tidak
akan berdampak langsung terhadap China. Tapi, dampaknya akan terlihat
pada jangka panjang,” katanya seperti dikutip China Daily.
Sedangkan Li Xiangyang, seorang peneliti
di Akademi Ilmu Sosial China, mengatakan, politisi AS pada masa depan
bisa mengabaikan kepentingan kreditor dan lebih mengutamakan kebijakan
dalam negeri.
Menurut Li, untuk menghindari perangkap
dollar AS, China harus menghentikan investasi dalam aset dollar pada
masa depan. Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin juga melihat ancaman
serupa.
“AS sudah tak
terkendali dan menumpahkan sebagian beban masalah ke ekonomi dunia. AS
hidup sebagai parasit dari ekonomi global dan monopoli dollar,” ujar
Vladimir Putin.
Putin, yang sering mengkritik kebijakan nilai tukar AS, mencatat, Rusia memegang obligasi dan treasury notes AS dalam jumlah besar. “Jika di Amerika ada masalah sistemik, akan mempengaruhi semua orang.
Negara seperti China dan Rusia menyimpan
cadangan devisa dalam jumlah besar di surat berharga Amerika. Seharusnya
ada mata uang lain sebagai cadangan devisa,” ujarnya. (sumber: wikipedia/ radarlampung/ antara/ maxheartwood.wordpress/ kompas/ kontan.coid/ berbagai sumber)
***
0 komentar:
Posting Komentar