Jumat, 26 Agustus 2016

Mulia dan indahnya Perkawinan dalam Islam dan Pengertiannya

Bagaimana Indahnya Pernikahan dalam Islam? Rosululloh  Sholallohu’alaihi wa Sallam pernah menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa pernikahan adalah menyempurnakan setengah agama seorang Muslim. Ungkapan ini menegaskan bahwa pernikahan memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu Muslim dalam membentuk sebuah keluarga dimana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan seterusnya.

Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tercermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktek iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun diawali dengan niat yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Alloh Subhanahuwata’ala diiringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya.
Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang lebih menggambarkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhkan adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah/pernikahan dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sohibul hajat untuk menyelenggarakan walimah di luar kemampuannya.
Lebih-lebih jika semua itu dibumbui dengan acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam, seperti (dalam adat jawa) siraman, ngerik, nginjak telor, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing  party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).
Sebaliknya, ada pula kelompok sempalan Islam yang justru mengajarkan untuk hidup membujang, sebagaimana ini telah dilakoni para pastor, bruder, biksu, rahib dan sejenisnya. Tak kalah, “kacau balau” juga adalah apa yang menjadi amalan ibadahnya orang-orang Syi’ah Rofidhoh, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan yang umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu perzinaan yang dikemas secara legal. Tak heran jika ada orang-orang yang diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan nikah mut’ah kerap mengemuka.
Begitulah ketika fithroh agama ini dilanggar, maka perzinaan semakin subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi bom waktu. Maka sudah saatnya bagi kita untuk menghidupkan syariat Alloh Subhanahuwata’ala, dengan mewujudkan pernikahan Islami ditengah masyarakat kita!
 Pengertian Pernikahan dalam Islam
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (hubungan suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat memperoleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah. Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisa’ [4]: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut.
 Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian…” (QS. al-Ma’idah [5]: 1)
 Hukum Menikah/ Pernikahan dalam Islam
Hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah Rahimahulloh, Imam Malik Rahimahulloh, Asy-Syafi’I Rahimahulloh, dan riwayat yang masyhur dari mazhab al-Imam Ahmad Rahimahulloh. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib. Nikah ini merupakan sunnah para Rosul.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:
“Sungguh Kami telah mengutus para rosul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak keturunan…” (QS. ar-Ro’d [13]: 38)
‘Utsman bin Mazh’un Radhiallohu’anhu, seorang dari sahabat Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam, berkata, “Seandainya Rosululloh Sholallohu’alaihi wa Sallam  mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah). Akan tetapi beliau Sholallohu’alaihi wa Sallam melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudhorotkan si istri.
Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya.
Alloh Subhanahuwata’ala berfirman:

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 3)
Demikian artikel dengan judul “Mulia dan indahnya Perkawinan dalam Islam dan Pengertiannya” Semoga dapat memberikan manfaat.


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...