Bagaimana
Indahnya Pernikahan dalam Islam? Rosululloh Sholallohu’alaihi wa
Sallam pernah menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa pernikahan adalah
menyempurnakan setengah agama seorang Muslim. Ungkapan ini menegaskan bahwa
pernikahan memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam. Menikah merupakan
babak baru dari seorang individu Muslim dalam membentuk sebuah keluarga dimana
ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun
juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dan seterusnya.
Nilai
kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tercermin dari “prosesi”
pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan
praktek iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun diawali dengan niat yang
tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Alloh Subhanahuwata’ala
diiringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari
pasangan hidupnya.
Islam
juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang lebih menggambarkan
nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhkan adat,
tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah/pernikahan dalam Islam,
bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sohibul hajat untuk
menyelenggarakan walimah di luar kemampuannya.
Lebih-lebih
jika semua itu dibumbui dengan acara-acara yang tidak memiliki makna secara
Islam, seperti (dalam adat jawa) siraman, ngerik, nginjak telor, dan
sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing
party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, dansa, atau yang sekadar
menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).
Sebaliknya,
ada pula kelompok sempalan Islam yang justru mengajarkan untuk hidup membujang,
sebagaimana ini telah dilakoni para pastor, bruder, biksu, rahib dan
sejenisnya. Tak kalah, “kacau balau” juga adalah apa yang menjadi amalan
ibadahnya orang-orang Syi’ah Rofidhoh, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan
yang umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu
perzinaan yang dikemas secara legal. Tak heran jika ada orang-orang yang
diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan nikah
mut’ah kerap mengemuka.
Begitulah
ketika fithroh agama ini dilanggar, maka perzinaan semakin subur,
perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi
bom waktu. Maka sudah saatnya bagi kita untuk menghidupkan syariat Alloh
Subhanahuwata’ala, dengan mewujudkan pernikahan Islami ditengah masyarakat
kita!
Pengertian Pernikahan dalam Islam
Nikah
sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun
atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad
dan jima’ (hubungan suami istri).
Adapun
pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan
seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat)
dengan si wanita, dapat memperoleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan
maslahat nikah. Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara
sepasang suami istri.
Alloh
Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan
mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang
kuat.” (QS. an-Nisa’ [4]: 21)
Akad
ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung
dalam perjanjian tersebut.
Alloh
Subhanahuwata’ala berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian…” (QS. al-Ma’idah [5]: 1)
Hukum
Menikah/ Pernikahan dalam Islam
Hukum
asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah Rahimahulloh,
Imam Malik Rahimahulloh, Asy-Syafi’I Rahimahulloh, dan riwayat
yang masyhur dari mazhab al-Imam Ahmad Rahimahulloh. Sebagaimana hal ini
merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah
yang mengatakan wajib. Nikah ini merupakan sunnah para Rosul.
Alloh
Subhanahuwata’ala berfirman:
“Sungguh
Kami telah mengutus para rosul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka
istri-istri dan anak keturunan…”
(QS. ar-Ro’d [13]: 38)
‘Utsman
bin Mazh’un Radhiallohu’anhu, seorang dari sahabat Rosululloh
Sholallohu’alaihi wa Sallam, berkata, “Seandainya Rosululloh Sholallohu’alaihi
wa Sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar
tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk
menikah). Akan tetapi beliau Sholallohu’alaihi wa Sallam melarang kami dari
hidup membujang (tidak menikah).” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Bagi
seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila
tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena
syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan
zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut.
Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan
sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.
Hukumnya
mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan
harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun
orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya.
Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang
berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki
syahwat, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum
makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat
memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat
memudhorotkan si istri.
Dan
haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan
perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah
disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya
seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia
berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram
pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi
namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya.
Alloh
Subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan
jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 3)
Demikian
artikel dengan judul “Mulia dan indahnya Perkawinan dalam Islam dan
Pengertiannya” Semoga dapat memberikan manfaat.
0 komentar:
Posting Komentar