Sangat menarik memang ketika kita mempelajari ilmu politik, kita akan dihadapkan kepada materi-materi mengenai negara, kekuasaan, pembagian kekuasaan dan sebagainya. Berbicara tentang negara pasti akan identik dengan bebgagai ideologi yang dianut atau dipakai oleh negara tersebut. Begitu juga dengan kekuasaan, pasti akan terpengaruh pula dengan ideologi suatu negara tersebut. Dan segala hal yang menyangkut hal tentang politik negara, kekuasaan dan sebagainya pasti tidak akan terlepas atau berpedoman pada ideologi yang dianut oleh negara tersebut.
Seperti
yang kita ketahui, di dunia ini terdapat beberapa ideologi yang mendominasi.
Indonesia sendiri memakai idelogi pancasila yang dirumuskan oleh para founding
father kita. Dan selain itu, terdapat pula ideologi liberalis, sosialis, dan
komunis. Pada awal abad ke 19, kedua ideologi yaitu liberal dan komunis sangat
memilki pengaruh pada dunia. Dimana diantara kedua ideologi tersebut saling
mempengaruhi untuk mendapatkan simpati atau pengikutnya. Antara liberalis dan
komunis sangat bertolak belakang dari segi sendi-sendi ajaran masing-masing.
Karakter liberalis sangat menghargai kebebasan individu, sedangkan komunis
mempunyai sistem yang bercirikan sentralistik.
Pada
masa sekitar abad ke 19 kedua ideologi ini (liberal & komunis) di pakai
atau dianut oleh dua negara adidaya yaitu Amerika memakai ideologi liberalis
dan Rusia memakai ideologi komunis. Kedua negara ini sangat gencar mempengaruhi
negara-negara berkembang untuk mengikuti paham mereka. Rusia sendiri melakukan
pengaruhnya di sekitar eropa bagian timur hingga ke tiongkok atau sekarang
disebut Republik Rakyat China.
China
pada saat itu masih dipimpin oleh kekaisaran dinasti chiing yang
pemerintahannya di kuasai oleh kepentingan orang asing. Melihat keadaan seperti
itu, para kaum nasionalis tidak senang dan marah, lalu terjadilah pemberontakan
dan dinasti chiing berhasil ditumbangkan oleh kaum nasionalis China. Akan
tetapi setelah perebutan kekuasaan oleh kaum nasionalis berhasil, malah tejadi
kekacauan sendiri oleh para kaum nasionalis. Dan pada saat terjadi kekacauan
itu pengaruh komunis mulai masuk ke china. Proses doktrinisasi komunis ke
negeri china boleh dikatakan berjalan cukup cepat dan lancar. Pada awal proses
masuknya komunisme di china dipelopori oleh tiga belas orang yang berkongres
membentuk komunisme di china. Namun setelah itu mereka terpecah akibat dari
perlawanan dan perbedaan pendapat dari masing-masing. Tinggalah Mao Zedong
sendiri yang masih mempelajari dan mendalami ideologi tersebut.
Peran
Mao Zedong dalam menumbuhkan dan mengembangkan ideologi komunis di Tiongkok
sangat mempengaruhi berdirinya Partai Komunis China (PKC). Dan ia pula lah yang
membawa China menuju gerbang kemerdekaan. Mao membangun ideologi komunisme
dengan ide-ide dan gagasan-gagasanya yang dicoba di aktualisasikan ke dalam
sendi-sendi politik dan sosial pada masyarakat China. Antara lain ajaran dia
yaitu mengenai kontadiksi, lompatan jauh kedepan, dan revolusi kebudayaan.
Pokok
Permasalahan
Dalam
melihat perkembangan yang terjadi di negeri Tiongkok hingga menjadi sebuah
negara yaitu China, taklepas dari peranan sang pemimpinnya yaitu Mao Zedong dan
Partai Komunis China. Karena kemerdekaan China tak lepas dari politik yang
dimainkan oleh Mao dengan partainya.
Sekilas
Tentang Mao Zedong
Lahir di sebuah keluarga petani miskin, sejak kecil Mao harus bekerja keras
dan hidup prihatin. Meskipun di kemudian hari keadaan ekonomi keluarganya
meningkat, tetapi kesengsaraan di masa kecil itu banyak mempengaruhi
kehidupannya kelak. Ketika kecil, Mao dikirim untuk belajar di sekolah dasar.
Pendidikannya sewaktu kecil juga mencakup ajaran-ajaran klasik Konfusianisme.
Tetapi pada usia 13 tahun, ayahnya menyuruhnya berhenti bersekolah dan
menyuruhnya bekerja di ladang-ladang.[1]
Mao memberontak dan bertekad ingin menyelesaikan pendidikannya sehingga ia
nekat kabur dari rumah dan melanjutkan pendidikannya di tempat lain.Pada tahun
1905, ia mengikuti ujian negara yang pada saat itu mulai menghapus paham-paham
konfusianisme lama; digantikan oleh pendidikan gaya Barat. Hal ini menandakan
permulaan ketidakpastian intelektual di Cina.
Pada tahun 1911, Mao terlibat dalam Revolusi Xinhai yang merupakan revolusi
melawan Dinasti Qing yang berakibat kepada runtuhnya kekaisaran Cina yang sudah
berkuasa lebih 2000 tahun sejak tahun 221 SM. Tahun 1912, Republik Cina
diproklamasikan oleh Sun Yat-sen dan Cina dengan resmi masuk ke zaman republik.
Mao lalu melanjutkan sekolahnya dan mempelajari banyak hal antara lain budaya
barat. Pada tahun 1918 ia lulus dan lalu kuliah di Universitas Beijing. Di sana
ia akan berjumpa dengan para pendiri PKT yang berhaluan Marxis
Selaku remaja usia muda, Mao secara pasti menganut paham kiri dalam
pandangan politiknyadan dia betul-betul menjadi Marxis tulen. Tetapi
peningkatannya menuju puncaktertinggi kepemimpinan partai berjalan lambat,
sehingga baru di tahun 1935 dia menjadi ketua partai. Sementara itu, secara
keseluruhan pun Partai Komunis China jalannya merangakak, berliku-liku, dalam
usahanya memegang kekuasaan.[2]
Awal
Partai Komunis China (PKC)
Sejak masa akhir
Dinasti Qing sampai masa awal periode Republik (1911-1949), Tiongkok mengalami
kejutan luar biasa dari luar dan usaha untuk reformasi internal secara
besar-besaran. Masyarakat berada dalam gejolak yang memilukan. Banyak
intelektual dan orang-orang dengan pemikiran yang bijaksana ingin menyelamatkan
negara dan rakyat, tetapi di tengah-tengah krisis dan kekacauan nasional,
kekhawatiran mereka tumbuh, pada awalnya dari kekecewaan yang kemudian menjadi
ke-putus asa-an sepenuhnya. Seperti orang sakit yang sembarangan mencari
dokter, mereka mencari solusi di luar Tiongkok. Ketika cara Inggris dan
Perancis gagal, mereka berpaling pada metode Rusia. Karena ingin cepat
berhasil, mereka tidak ragu-ragu untuk meramu obat yang paling keras untuk
penyakitnya, dengan harapan Tiongkok bisa menjadi kuat dengan cepat.
Gerakan 4 Mei pada
1919 adalah cermin yang jelas dari ke-putus asa-an ini. Sebagian orang memilih
tindakan anarkis, sebagian lain mengusulkan untuk membuang doktrin-doktrin
Konghucu, dan yang lainnya lagi menyarankan untuk mengadopsi kebudayaan asing.
Secara singkat, mereka menolak kebudayaan tradisional Tionghoa dan menentang
doktrin Konghucu yang mengambil jalan tengah. Karena ingin mengambil jalan
pintas, mereka menjalankan pemusnahan dari semua hal yang bersifat tradisional.
Pada satu sisi kelompok radikal tidak mempunyai cara untuk menjalankan negara,
pada sisi lain mereka percaya sepenuhnya pada pendapat mereka sendiri. Mereka
merasa dunia tanpa harapan, dan percaya bahwa hanya dengan diri sendiri barulah
mereka bisa menemukan cara yang benar bagi perkembangan masa depan Tiongkok.
Mereka bernafsu untuk melakukan revolusi dan kekerasan.[3]
Pengalaman yang
berbeda menyebabkan perbedaan pada teori, prinsip dan jalur di antara beberapa
kelompok. Akhirnya sekelompok orang bertemu dengan penghubung Partai Komunis
dari Uni Soviet. Ide "menggunakan kekerasan untuk menduduki kekuasaan
politik" dari teori Marxisme-Leninisme, menarik bagi pikiran resah mereka
dan sesuai dengan keinginan mereka untuk menyelamatkan negara dan rakyat. Maka
mereka memperkenalkan Komunisme, suatu konsep yang sangat asing ke negeri
Tiongkok. Ada 13 orang wakil yang menghadiri kongres pertama PKC. Setelah itu,
sebagian meninggal, sebagian melarikan diri, sebagian bekerja untuk kepentingan
kubu Jepang dan menjadi pengkhianat, dan sebagian keluar dari PKC untuk
bergabung dengan Kuomintang (Partai Nasional, yang selanjutnya kita sebut KMT).
Pada 1949, ketika PKC berkuasa, hanya Mao Zedong (Mao Tse Tung) dan Dong Biwu
yang masih tersisa dari 13 anggota Partai semula. Tidak jelas pada waktu itu
apakah pendiri-pendiri PKC menyadari bahwa "dewa penyelamat" yang
mereka perkenalkan dari Uni Soviet sebenarnya adalah makhluk jahat, dan obat
yang mereka dapatkan untuk menguatkan negara sebenarnya adalah racun mematikan.
Partai Komunis Rusia
yang baru saja memenangkan revolusi, terobsesi untuk menggarap Tiongkok. Pada
tahun 1920, Uni Soviet mendirikan Biro Timur Jauh di Siberia yaitu sebuah
cabang dari Komunis Internasional (Internationale) Ketiga, atau Komintern
(Comintern). Ia bertanggung jawab untuk mengatur pendirian Partai Komunis di
Tiongkok dan negara lainnya. Begitu didirikan, wakil deputi biro Grigori
Voitinsky tiba di Beijing dan menghubungi barisan depan komunis Li Dazhao. Li
mengatur pertemuan Voitinsky dengan pemimpin komunis lainnya, Chen Dixiu di
Shanghai. Pada bulan Agustus 1920, Voitinsky, Chen Dixiu, Li Hanjun, Shen
Xuanlu, Yu Xiusong, Shi Cuntong dan lainnya memulai persiapan dari pendirian
PKC.
Pada Juni 1921, Zhang
Tailei tiba di Irkutsk - Siberia, untuk menyerahkan proposal pendirian PKC
sebagai cabang dari Komintern kepada Biro Timur Jauh. Pada 23 Juli 1921, dengan
bantuan Nikolsky dan Maring dari Biro Timur Jauh, maka secara resmi
terbentuklah PKC.
Sejak itu gerakan
Komunis diperkenalkan ke Tiongkok sebagai uji coba, dan sejak itu PKC
memposisikan dirinya di atas segalanya, menaklukkan segalanya sehingga membawa
bencana tanpa akhir bagi Tiongkok.
Garis Massa,
Kontradiksi dan Praktek
Pemikiran Marxis Mao sendiri mulai terbentuk setelah ia membaca tiga buku
penting, yaitu: Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas
oleh Karl Kautsky dan Sejarah Sosialisme
oleh Kirkupp. Edgar Snow menyebut periode pemikiran ini sebagai periode
Marxis, karena ideide pikirannya belum dapat diterima oleh masyarakat (Snow,
1944: 156). Pemikiran Mao sering disebut sebagai “Maoisme”. Dalam bukunya Mao and The Chinese Revolution, Chen Jerome
menyatakan bahwa istilah ini secara salah telah dipopulerkan oleh para pelajar
dari Universitas Harvard dalam tulisantulisan mereka untuk menunjuk kepada
pemikiran-pemikiran Mao.
Pemikiran Mao pada dasarnya
merupakan gabungan pemikiran dari tokoh-tokoh sebelumnya (bukan hanya kaum
Marxian), yang disesuaikannya dengan situasi objektif negara Cina dan dipadukan dengan pengetahuan intelektual dan
pengalaman-pengalaman perjuangan revolusinya, sehingga menjadi suatu konsep
pemikiran yang sangat pragmatis dan luwes berlaku di Cina. Pemikiranpemikiran
Marxis Mao inilah selanjutnya yang disebut sebagai Maoisme (Ch’en, 1967: 3-4).
Secara global, pemikiran politik Mao terlihat dalam pandangannya tentang “garis
massa” yang terkenal dengan semboyan “dari massa, untuk massa”. Ia menyatakan
dengan tegas bahwa: suatu kebijakan politik partai dapat disebut bagus hanya jika
gagasannya secara murni berasal dari massa yaitu petani dan pekerja, dengan
memperhitungkan kepentingan dan keinginan mereka (Wang, 1976: 55). Implementasi
kebijakan tersebut, sebagus apapun tetap harus mendapat dukungan dari massa Mao
berangkat dari teori pengetahuan Marx, bahwa pengetahuan diperoleh dari praktek
(pengalaman) dalam masyarakat yang muncul karena adanya kontradiksi-kontradiksi
di dalamnya.
Kontradiksi diartikan sebagai perbedaanperbedaan pandangan di antara massa,
baik individu ataupun kelompok. Pendapat-pendapat ini merupakan wujud dari
keinginan-keinginan rakyat, yang selanjutnya dibawa kepada level yang lebih
tinggi (kader-kader partai) untuk dicari pemecahannya. Setelah dianalisa dan
disusun secara sistematis dibawa lagi ke tingkat yang lebih tinggi (pusat)
untuk menentukan solusi yang tepat bagi persoalan tersebut. Menurut John Lewis proses ini meliputi
tahapan-tahapan: persepsi, pengumpulan pendapat-pendapat, pengambilan keputusan
partai, dan tahap implementasi.
Para kader partai membuat daftar terhadap pandangan-pandangan yang muncul
dari dalam massa yang belum teratur dan belum sistematis, kemudian
gagasan-gagasan tersebut mereka pelajari untuk dilaporkan kepada kewenangan
yang lebih tinggi. Berdasarkan laporan kader tersebut pemegang kekuasaan yang
lebih tinggi memberi masukan ataupun instruksi dan dikembalikan lagi kepada
massa, pada tahap ini pendidikan politik dan propaganda-propagandanya terus
dilakukan oleh kader yang berada di tengahtengah massa. Dan ketika massa merasa
memiliki gagasan-gagasan tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam gerakan yang
nyata (Lewis, 1963: 72). Menurut Mao ini bukanlah tahap terakhir, karena untuk
selanjutnya proses ini harus diulangi beberapa kali sehingga setiap kali
gagasan-gagasan menjadi lebih baik. Konsep ini membutuhkan kerja sama antara
pemimpin dan massa agar saling belajar, saling memberi dukungan, dan selalu
terjadi dialog antara pemimpin dan yang dipimpin. Tiga subjek utama yang
terlibat adalah politbiro sebagai pemimpin tertinggi, kader-kader
partai sebagai level menengah dan massa sebagai tingkat terendah (Gray &
Cavendish, 1968: 225).
Konsep
garis massa menjadi alat monitoring terhadap elit birokrat dan kecenderungan
mereka untuk mengatur massa melalui partai dan sanksi-sanksi yang tidak jelas
(Lewis, 1963: 84-86). Meskipun partai adalah pemimpin massa, namun kedudukannya
tidak lebih tinggi dari massa. Digambarkan Mao hubungan antara partai dengan
massa seperti ikan dan air, antara massa dan partai saling membutuhkan (Chen,
1970: 56). Pemikiran-pemikiran Mao tentang manusia bisa dikatakan lebih moralis
bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh Marxis yang lain. Manusia bukanlah suatu
“produk yang sudah jadi”, ia dipengaruhi oleh lingkungan di sekelilingnya, terutama
pendidikan. Melalui pendidikan, kesadaran sosial seseorang dapat dibentuk
Berbeda dengan Marx ia menolak pendapat Marx yang menyatakan bahwa
masing-masing individu telah ditentukan kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingannya berdasarkan sifat kelasnya.
Menurut
Mao, keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat berubah, ia dapat dibentuk
menjadi manusia baru melalui “pendidikan-kembali” (re-edukasi). Mao ingin
menyatakan bahwa apa yang selama ini dinyatakan sebagai "takdir"
adalah omong kosong, manusia berhak sepenuhnya atas hidupnya, dan berhak untuk
menentukan dan mengubah kehidupannya.
Pandangan ini mendasari konsepnya tentang voluntarisme, bahwa keinginan
dan kebulatan tekad manusia pada akhirnya akan mampu melalui segala rintangan
untuk menuju dunia yang lebih baik (Wang, 1977: 41-46). Digambarkan oleh Mao
dalam puisinya tentang seorang orang tua yang berusaha memindahkan pegunungan
dengan berdasar keyakinan, ketekunan dan kekerasan hati. Puisi ini sangat
populer pada masa-masa revolusi kebudayaan.
Tindakan
dan keputusan-keputusan Mao yang moralis telah mengubah teori "materialisme-dialektik"
Marx, menjadi "moralisme-dialektik". Belajar dari pengalaman Lenin,
Mao menyimpulkan bahwa transformasi fisik (sarana-sarana produksi) tanpa
diimbangi dengan transformasi moralitas masyarakat, tidak akan menjamin
kelanggengan masyarakat baru. Bentuk-bentuk kesadaran sosial harus diubah sama
sekali dan harus mempunyai landasan yang kuat. Oleh karena itu pemikiran-pemikiran
sosialis harus ditanamkan kepada masyarakat dan dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-sehari hingga menjadi way of life(Wertheim,
1974: 335).. Ini adalah tujuan program Revolusi Kebudayaan
REVOLUSI
KEBUDAYAAN
Setelah
simplifikasi yang dilakukan Lenin, Marxisme di tangan Mao semakin kehilangan
unsur-unsur spesifiknya, antara lain tentang kritik kapitalisme, perkembangan
industrialisasi, perjuangan kelas, dan diktator proletariat. Mao pun
meninggalkan hukum-hukum deterministik Marxisme. Menurutnya setiap masyarakat
berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan
politiknya. Karena kondisi objektif masing-masing masyarakat unik, maka tidak
ada satupun perkembangan masyarakat yang berjalan mengikuti teori keniscayaan
sejarah Marx. Bukan tujuan ditentukan sejarah melainkan kehendak revolusioner
yang menentukan sejarah.
Menurut
Mao, revolusi yang merupakan suatu bagian integral dari perubahan sosial adalah
suatu proses kontinyu. Terjadinya
revolusi tergantung dari ada tidaknya kehendak revolusioner massa dan adanya
suatu bangunan partai yang kuat. Revolusi Mao adalah salah satu dari sekian
tahap perubahan masyarakat yang direncanakan, dan akan terus berlangsung hingga
tercapainya sosialisme sebagai cita-cita akhir masyarakat. Mao tidak menentukan
berapa lama suatu revolusi akan berlangsung, ia hanya menyatakan bahwa revolusi
akan berakhir ketika sosialisme telah tercapai di seluruh negara di dunia.
Inilah revolusi permanen.
Reformasi
Agraria, Rencana Pembangunan Lima Tahun, Lompatan Jauh ke Depan, serta Revolusi
Kebudayaan adalah serangkaian gerakan revolusi permanen pada masa pemerintahan
Mao. Kontinyuitas dalam gerakan revolusi diperlukan untuk menjaga kesatuan
tujuan dan kesamaan kehendak antara pemerintah dan rakyat. Menurut Mao, penggulingan pemerintahan lama
dan pengalihan alat-alat produksi kepada proletariat saja belum cukup untuk
terwujudnya masyarakat baru, kecuali telah terbentuk suatu konsep yang sama
dalam pikiran masyarakat.
Dengan
kata lain, bentuk-bentuk kesadaran sosial dan bangunan atas masyarakat lama
harus digantikan oleh ideologi baru. Secara resmi Revolusi Kebudayaan dicanangkan
pada pertemuan Komite Sentral ke-8 tahun 1966, tercantum dalam 16 poin resolusi
sebagai petunjuk atas tindakan rakyat dalam masa revolusi. Atas nama
penghapusan “4 hal-hal kuno” (4 olds), yaitu: kebudayaan, gagasan pemikiran, tradisi
dan kebiasaan-kebiasaan kuno, Tentara Merah (Red Guards) berhak menghancurkan
segala hal yang berhubungan atau mengingatkan mereka dengan peradaban Barat dan
feodalisme, termasuk benda-benda warisan sejarah. (Kaiming, 1986: 226-227).
Akar
dari kekacauan ini adalah perseteruan politik di tingkat elit pemerintahan,
perbedaan ideologi menyebabkan terpecahnya kepemimpinan menjadi 2 pihak yaitu:
pendukung Mao dan yang anti Mao. Masing-masing berusaha mencari massa sebanyak-banyaknya,
generasi muda adalah target mereka. Dukungan rakyat merupakan legalisasi posisi
seseorang dalam pemerintahan, keadaan ini dimanfaatkan untuk mencapai
tujuan-tujuan untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka dari pemerintahan.
Kekuasaan
tertinggi pada saat itu berada di tangan massa, yang menentukan apakah
seseorang disebut revolusioner atau kontra-revolusi. Lin Biao, salah seorang pendukung Mao
menerbitkan buku saku yang sangat populer pada masa itu, terkenal dengan sebutan
“buku merah kecil” (little red book), berisi kutipan-kutipan perkataan Mao,
sebagai pedoman tindakan anggota Tentara Merah dan rakyat secara umum. Buku ini
sengaja diterbitkan dalam upaya kultus individu terhadap Mao yang pada saat itu
telah turun dari jabatan presiden, sekaligus sebagai legitimasi kekuasaan Mao
(http/www. geocities.com/College Park/Library/ 6132). Seluruh tindakan masyarakat harus didasarkan
atas argumen-argumen yang kuat dan bukan atas dasar kekuatan fisik, inilah
semboyan yang selalu diserukan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong.....hari
sabtu, 21/5/2011
http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-komunisme-china.html
http://erabaru.net/2-awal-partai-komunis-china
Ch’en, J., 1967, Mao and the Chinese Revolution; with 37 Poems
by Mao Tsetung, Trans.:M. Bullock, Oxford University Press, London
Ch’en, J., 1970, Mao Papers: Anthology and Bibliography,
Oxford University Press, London
Snow, E., 1944, Red
Star Over China, 2nd. ed., The Modern Library, New York.
Wang, J.C.F.,
1976, Values of the Cultural Revolution,
dalam Journal of Communication, vol. 27,
no. 3.
Kaiming, S., 1986, Modern
China: a Topical History, 2nd ed., Foreign Language Press,Beijing
Lewis, J.W., 1963, Leadership in Communist China, Cornell
University Press, New York.
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong.....hari sabtu, 21/5/2011
[2]
http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-komunisme-china.html
0 komentar:
Posting Komentar