Senin, 07 Juli 2014

Sejarah Komunis China dan Pengaruh Mao Zedong

Faham Ideologi suatu Negara

Sangat menarik memang ketika kita mempelajari ilmu politik, kita akan dihadapkan kepada materi-materi mengenai negara, kekuasaan, pembagian kekuasaan dan sebagainya. Berbicara tentang negara pasti akan identik dengan bebgagai ideologi yang dianut atau dipakai oleh negara tersebut. Begitu juga dengan kekuasaan, pasti akan terpengaruh pula dengan ideologi suatu negara tersebut. Dan segala hal yang menyangkut hal tentang politik negara, kekuasaan dan sebagainya pasti tidak akan terlepas atau berpedoman pada ideologi yang dianut oleh negara tersebut.
Seperti yang kita ketahui, di dunia ini terdapat beberapa ideologi yang mendominasi. Indonesia sendiri memakai idelogi pancasila yang dirumuskan oleh para founding father kita. Dan selain itu, terdapat pula ideologi liberalis, sosialis, dan komunis. Pada awal abad ke 19, kedua ideologi yaitu liberal dan komunis sangat memilki pengaruh pada dunia. Dimana diantara kedua ideologi tersebut saling mempengaruhi untuk mendapatkan simpati atau pengikutnya. Antara liberalis dan komunis sangat bertolak belakang dari segi sendi-sendi ajaran masing-masing. Karakter liberalis sangat menghargai kebebasan individu, sedangkan komunis mempunyai sistem yang bercirikan sentralistik.

Pada masa sekitar abad ke 19 kedua ideologi ini (liberal & komunis) di pakai atau dianut oleh dua negara adidaya yaitu Amerika memakai ideologi liberalis dan Rusia memakai ideologi komunis. Kedua negara ini sangat gencar mempengaruhi negara-negara berkembang untuk mengikuti paham mereka. Rusia sendiri melakukan pengaruhnya di sekitar eropa bagian timur hingga ke tiongkok atau sekarang disebut Republik Rakyat China.
China pada saat itu masih dipimpin oleh kekaisaran dinasti chiing yang pemerintahannya di kuasai oleh kepentingan orang asing. Melihat keadaan seperti itu, para kaum nasionalis tidak senang dan marah, lalu terjadilah pemberontakan dan dinasti chiing berhasil ditumbangkan oleh kaum nasionalis China. Akan tetapi setelah perebutan kekuasaan oleh kaum nasionalis berhasil, malah tejadi kekacauan sendiri oleh para kaum nasionalis. Dan pada saat terjadi kekacauan itu pengaruh komunis mulai masuk ke china. Proses doktrinisasi komunis ke negeri china boleh dikatakan berjalan cukup cepat dan lancar. Pada awal proses masuknya komunisme di china dipelopori oleh tiga belas orang yang berkongres membentuk komunisme di china. Namun setelah itu mereka terpecah akibat dari perlawanan dan perbedaan pendapat dari masing-masing. Tinggalah Mao Zedong sendiri yang masih mempelajari dan mendalami ideologi tersebut.
Peran Mao Zedong dalam menumbuhkan dan mengembangkan ideologi komunis di Tiongkok sangat mempengaruhi berdirinya Partai Komunis China (PKC). Dan ia pula lah yang membawa China menuju gerbang kemerdekaan. Mao membangun ideologi komunisme dengan ide-ide dan gagasan-gagasanya yang dicoba di aktualisasikan ke dalam sendi-sendi politik dan sosial pada masyarakat China. Antara lain ajaran dia yaitu mengenai kontadiksi, lompatan jauh kedepan, dan revolusi kebudayaan.
Pokok Permasalahan
Dalam melihat perkembangan yang terjadi di negeri Tiongkok hingga menjadi sebuah negara yaitu China, taklepas dari peranan sang pemimpinnya yaitu Mao Zedong dan Partai Komunis China. Karena kemerdekaan China tak lepas dari politik yang dimainkan oleh Mao dengan partainya.
Sekilas Tentang Mao Zedong
Lahir di sebuah keluarga petani miskin, sejak kecil Mao harus bekerja keras dan hidup prihatin. Meskipun di kemudian hari keadaan ekonomi keluarganya meningkat, tetapi kesengsaraan di masa kecil itu banyak mempengaruhi kehidupannya kelak. Ketika kecil, Mao dikirim untuk belajar di sekolah dasar. Pendidikannya sewaktu kecil juga mencakup ajaran-ajaran klasik Konfusianisme. Tetapi pada usia 13 tahun, ayahnya menyuruhnya berhenti bersekolah dan menyuruhnya bekerja di ladang-ladang.[1]
Mao memberontak dan bertekad ingin menyelesaikan pendidikannya sehingga ia nekat kabur dari rumah dan melanjutkan pendidikannya di tempat lain.Pada tahun 1905, ia mengikuti ujian negara yang pada saat itu mulai menghapus paham-paham konfusianisme lama; digantikan oleh pendidikan gaya Barat. Hal ini menandakan permulaan ketidakpastian intelektual di Cina.
Pada tahun 1911, Mao terlibat dalam Revolusi Xinhai yang merupakan revolusi melawan Dinasti Qing yang berakibat kepada runtuhnya kekaisaran Cina yang sudah berkuasa lebih 2000 tahun sejak tahun 221 SM. Tahun 1912, Republik Cina diproklamasikan oleh Sun Yat-sen dan Cina dengan resmi masuk ke zaman republik. Mao lalu melanjutkan sekolahnya dan mempelajari banyak hal antara lain budaya barat. Pada tahun 1918 ia lulus dan lalu kuliah di Universitas Beijing. Di sana ia akan berjumpa dengan para pendiri PKT yang berhaluan Marxis
Selaku remaja usia muda, Mao secara pasti menganut paham kiri dalam pandangan politiknyadan dia betul-betul menjadi Marxis tulen. Tetapi peningkatannya menuju puncaktertinggi kepemimpinan partai berjalan lambat, sehingga baru di tahun 1935 dia menjadi ketua partai. Sementara itu, secara keseluruhan pun Partai Komunis China jalannya merangakak, berliku-liku, dalam usahanya memegang kekuasaan.[2]
Awal Partai Komunis China (PKC)
Sejak masa akhir Dinasti Qing sampai masa awal periode Republik (1911-1949), Tiongkok mengalami kejutan luar biasa dari luar dan usaha untuk reformasi internal secara besar-besaran. Masyarakat berada dalam gejolak yang memilukan. Banyak intelektual dan orang-orang dengan pemikiran yang bijaksana ingin menyelamatkan negara dan rakyat, tetapi di tengah-tengah krisis dan kekacauan nasional, kekhawatiran mereka tumbuh, pada awalnya dari kekecewaan yang kemudian menjadi ke-putus asa-an sepenuhnya. Seperti orang sakit yang sembarangan mencari dokter, mereka mencari solusi di luar Tiongkok. Ketika cara Inggris dan Perancis gagal, mereka berpaling pada metode Rusia. Karena ingin cepat berhasil, mereka tidak ragu-ragu untuk meramu obat yang paling keras untuk penyakitnya, dengan harapan Tiongkok bisa menjadi kuat dengan cepat.
Gerakan 4 Mei pada 1919 adalah cermin yang jelas dari ke-putus asa-an ini. Sebagian orang memilih tindakan anarkis, sebagian lain mengusulkan untuk membuang doktrin-doktrin Konghucu, dan yang lainnya lagi menyarankan untuk mengadopsi kebudayaan asing. Secara singkat, mereka menolak kebudayaan tradisional Tionghoa dan menentang doktrin Konghucu yang mengambil jalan tengah. Karena ingin mengambil jalan pintas, mereka menjalankan pemusnahan dari semua hal yang bersifat tradisional. Pada satu sisi kelompok radikal tidak mempunyai cara untuk menjalankan negara, pada sisi lain mereka percaya sepenuhnya pada pendapat mereka sendiri. Mereka merasa dunia tanpa harapan, dan percaya bahwa hanya dengan diri sendiri barulah mereka bisa menemukan cara yang benar bagi perkembangan masa depan Tiongkok. Mereka bernafsu untuk melakukan revolusi dan kekerasan.[3]
Pengalaman yang berbeda menyebabkan perbedaan pada teori, prinsip dan jalur di antara beberapa kelompok. Akhirnya sekelompok orang bertemu dengan penghubung Partai Komunis dari Uni Soviet. Ide "menggunakan kekerasan untuk menduduki kekuasaan politik" dari teori Marxisme-Leninisme, menarik bagi pikiran resah mereka dan sesuai dengan keinginan mereka untuk menyelamatkan negara dan rakyat. Maka mereka memperkenalkan Komunisme, suatu konsep yang sangat asing ke negeri Tiongkok. Ada 13 orang wakil yang menghadiri kongres pertama PKC. Setelah itu, sebagian meninggal, sebagian melarikan diri, sebagian bekerja untuk kepentingan kubu Jepang dan menjadi pengkhianat, dan sebagian keluar dari PKC untuk bergabung dengan Kuomintang (Partai Nasional, yang selanjutnya kita sebut KMT). Pada 1949, ketika PKC berkuasa, hanya Mao Zedong (Mao Tse Tung) dan Dong Biwu yang masih tersisa dari 13 anggota Partai semula. Tidak jelas pada waktu itu apakah pendiri-pendiri PKC menyadari bahwa "dewa penyelamat" yang mereka perkenalkan dari Uni Soviet sebenarnya adalah makhluk jahat, dan obat yang mereka dapatkan untuk menguatkan negara sebenarnya adalah racun mematikan.
Partai Komunis Rusia yang baru saja memenangkan revolusi, terobsesi untuk menggarap Tiongkok. Pada tahun 1920, Uni Soviet mendirikan Biro Timur Jauh di Siberia yaitu sebuah cabang dari Komunis Internasional (Internationale) Ketiga, atau Komintern (Comintern). Ia bertanggung jawab untuk mengatur pendirian Partai Komunis di Tiongkok dan negara lainnya. Begitu didirikan, wakil deputi biro Grigori Voitinsky tiba di Beijing dan menghubungi barisan depan komunis Li Dazhao. Li mengatur pertemuan Voitinsky dengan pemimpin komunis lainnya, Chen Dixiu di Shanghai. Pada bulan Agustus 1920, Voitinsky, Chen Dixiu, Li Hanjun, Shen Xuanlu, Yu Xiusong, Shi Cuntong dan lainnya memulai persiapan dari pendirian PKC.
Pada Juni 1921, Zhang Tailei tiba di Irkutsk - Siberia, untuk menyerahkan proposal pendirian PKC sebagai cabang dari Komintern kepada Biro Timur Jauh. Pada 23 Juli 1921, dengan bantuan Nikolsky dan Maring dari Biro Timur Jauh, maka secara resmi terbentuklah PKC.
Sejak itu gerakan Komunis diperkenalkan ke Tiongkok sebagai uji coba, dan sejak itu PKC memposisikan dirinya di atas segalanya, menaklukkan segalanya sehingga membawa bencana tanpa akhir bagi Tiongkok.
 Garis Massa, Kontradiksi dan Praktek
Pemikiran Marxis Mao sendiri mulai terbentuk setelah ia membaca tiga buku penting, yaitu: Manifesto Komunis terjemahan Chen Wang-tao, Pertarungan Kelas oleh Karl Kautsky dan  Sejarah Sosialisme oleh Kirkupp. Edgar Snow menyebut periode pemikiran ini sebagai periode Marxis, karena ideide pikirannya belum dapat diterima oleh masyarakat (Snow, 1944: 156). Pemikiran Mao sering disebut sebagai “Maoisme”. Dalam bukunya  Mao and The Chinese Revolution, Chen Jerome menyatakan bahwa istilah ini secara salah telah dipopulerkan oleh para pelajar dari Universitas Harvard dalam tulisantulisan mereka untuk menunjuk kepada pemikiran-pemikiran Mao.
 Pemikiran Mao pada dasarnya merupakan gabungan pemikiran dari tokoh-tokoh sebelumnya (bukan hanya kaum Marxian), yang disesuaikannya dengan situasi objektif negara Cina dan dipadukan  dengan pengetahuan intelektual dan pengalaman-pengalaman perjuangan revolusinya, sehingga menjadi suatu konsep pemikiran yang sangat pragmatis dan luwes berlaku di Cina. Pemikiranpemikiran Marxis Mao inilah selanjutnya yang disebut sebagai Maoisme (Ch’en, 1967: 3-4). Secara global, pemikiran politik Mao terlihat dalam pandangannya tentang “garis massa” yang terkenal dengan semboyan “dari massa, untuk massa”. Ia menyatakan dengan tegas bahwa: suatu kebijakan politik partai dapat disebut bagus hanya jika gagasannya secara murni berasal dari massa yaitu petani dan pekerja, dengan memperhitungkan kepentingan dan keinginan mereka (Wang, 1976: 55). Implementasi kebijakan tersebut, sebagus apapun tetap harus mendapat dukungan dari massa Mao berangkat dari teori pengetahuan Marx, bahwa pengetahuan diperoleh dari praktek (pengalaman) dalam masyarakat yang muncul karena adanya kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.
Kontradiksi diartikan sebagai perbedaanperbedaan pandangan di antara massa, baik individu ataupun kelompok. Pendapat-pendapat ini merupakan wujud dari keinginan-keinginan rakyat, yang selanjutnya dibawa kepada level yang lebih tinggi (kader-kader partai) untuk dicari pemecahannya. Setelah dianalisa dan disusun secara sistematis dibawa lagi ke tingkat yang lebih tinggi (pusat) untuk menentukan solusi yang tepat bagi persoalan tersebut.  Menurut John Lewis proses ini meliputi tahapan-tahapan: persepsi, pengumpulan pendapat-pendapat, pengambilan keputusan partai, dan tahap implementasi.
Para kader partai membuat daftar terhadap pandangan-pandangan yang muncul dari dalam massa yang belum teratur dan belum sistematis, kemudian gagasan-gagasan tersebut mereka pelajari untuk dilaporkan kepada kewenangan yang lebih tinggi. Berdasarkan laporan kader tersebut pemegang kekuasaan yang lebih tinggi memberi masukan ataupun instruksi dan dikembalikan lagi kepada massa, pada tahap ini pendidikan politik dan propaganda-propagandanya terus dilakukan oleh kader yang berada di tengahtengah massa. Dan ketika massa merasa memiliki gagasan-gagasan tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam gerakan yang nyata (Lewis, 1963: 72). Menurut Mao ini bukanlah tahap terakhir, karena untuk selanjutnya proses ini harus diulangi beberapa kali sehingga setiap kali gagasan-gagasan menjadi lebih baik. Konsep ini membutuhkan kerja sama antara pemimpin dan massa agar saling belajar, saling memberi dukungan, dan selalu terjadi dialog antara pemimpin dan yang dipimpin. Tiga subjek utama yang terlibat adalah politbiro sebagai pemimpin tertinggi, kader-kader partai sebagai level menengah dan massa sebagai tingkat terendah (Gray & Cavendish, 1968: 225). 
Konsep garis massa menjadi alat monitoring terhadap elit birokrat dan kecenderungan mereka untuk mengatur massa melalui partai dan sanksi-sanksi yang tidak jelas (Lewis, 1963: 84-86). Meskipun partai adalah pemimpin massa, namun kedudukannya tidak lebih tinggi dari massa. Digambarkan Mao hubungan antara partai dengan massa seperti ikan dan air, antara massa dan partai saling membutuhkan (Chen, 1970: 56). Pemikiran-pemikiran Mao tentang manusia bisa dikatakan lebih moralis bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh Marxis yang lain. Manusia bukanlah suatu “produk yang sudah jadi”, ia dipengaruhi oleh lingkungan di sekelilingnya, terutama pendidikan. Melalui pendidikan, kesadaran sosial seseorang dapat dibentuk Berbeda dengan Marx ia menolak pendapat Marx yang menyatakan bahwa masing-masing individu telah ditentukan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingannya berdasarkan sifat kelasnya.
Menurut Mao, keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat berubah, ia dapat dibentuk menjadi manusia baru melalui “pendidikan-kembali” (re-edukasi). Mao ingin menyatakan bahwa apa yang selama ini dinyatakan sebagai "takdir" adalah omong kosong, manusia berhak sepenuhnya atas hidupnya, dan berhak untuk menentukan dan mengubah kehidupannya.  Pandangan ini mendasari konsepnya tentang voluntarisme, bahwa keinginan dan kebulatan tekad manusia pada akhirnya akan mampu melalui segala rintangan untuk menuju dunia yang lebih baik (Wang, 1977: 41-46). Digambarkan oleh Mao dalam puisinya tentang seorang orang tua yang berusaha memindahkan pegunungan dengan berdasar keyakinan, ketekunan dan kekerasan hati. Puisi ini sangat populer pada masa-masa revolusi kebudayaan. 
Tindakan dan keputusan-keputusan Mao yang moralis telah mengubah teori "materialisme-dialektik" Marx, menjadi "moralisme-dialektik". Belajar dari pengalaman Lenin, Mao menyimpulkan bahwa transformasi fisik (sarana-sarana produksi) tanpa diimbangi dengan transformasi moralitas masyarakat, tidak akan menjamin kelanggengan masyarakat baru. Bentuk-bentuk kesadaran sosial harus diubah sama sekali dan harus mempunyai landasan yang kuat. Oleh karena itu pemikiran-pemikiran sosialis harus ditanamkan kepada masyarakat dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-sehari hingga menjadi  way of life(Wertheim, 1974: 335).. Ini adalah tujuan program Revolusi Kebudayaan
REVOLUSI KEBUDAYAAN
Setelah simplifikasi yang dilakukan Lenin, Marxisme di tangan Mao semakin kehilangan unsur-unsur spesifiknya, antara lain tentang kritik kapitalisme, perkembangan industrialisasi, perjuangan kelas, dan diktator proletariat. Mao pun meninggalkan hukum-hukum deterministik Marxisme. Menurutnya setiap masyarakat berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan kondisi ekonomi, sosial, dan politiknya. Karena kondisi objektif masing-masing masyarakat unik, maka tidak ada satupun perkembangan masyarakat yang berjalan mengikuti teori keniscayaan sejarah Marx. Bukan tujuan ditentukan sejarah melainkan kehendak revolusioner yang menentukan sejarah. 
Menurut Mao, revolusi yang merupakan suatu bagian integral dari perubahan sosial adalah suatu proses  kontinyu. Terjadinya revolusi tergantung dari ada tidaknya kehendak revolusioner massa dan adanya suatu bangunan partai yang kuat. Revolusi Mao adalah salah satu dari sekian tahap perubahan masyarakat yang direncanakan, dan akan terus berlangsung hingga tercapainya sosialisme sebagai cita-cita akhir masyarakat. Mao tidak menentukan berapa lama suatu revolusi akan berlangsung, ia hanya menyatakan bahwa revolusi akan berakhir ketika sosialisme telah tercapai di seluruh negara di dunia. Inilah revolusi permanen.
Reformasi Agraria, Rencana Pembangunan Lima Tahun, Lompatan Jauh ke Depan, serta Revolusi Kebudayaan adalah serangkaian gerakan revolusi permanen pada masa pemerintahan Mao. Kontinyuitas dalam gerakan revolusi diperlukan untuk menjaga kesatuan tujuan dan kesamaan kehendak antara pemerintah dan rakyat.  Menurut Mao, penggulingan pemerintahan lama dan pengalihan alat-alat produksi kepada proletariat saja belum cukup untuk terwujudnya masyarakat baru, kecuali telah terbentuk suatu konsep yang sama dalam pikiran masyarakat.
Dengan kata lain, bentuk-bentuk kesadaran sosial dan bangunan atas masyarakat lama harus digantikan oleh ideologi baru. Secara resmi Revolusi Kebudayaan dicanangkan pada pertemuan Komite Sentral ke-8 tahun 1966, tercantum dalam 16 poin resolusi sebagai petunjuk atas tindakan rakyat dalam masa revolusi. Atas nama penghapusan “4 hal-hal kuno” (4 olds), yaitu: kebudayaan, gagasan pemikiran, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan kuno, Tentara Merah (Red Guards) berhak menghancurkan segala hal yang berhubungan atau mengingatkan mereka dengan peradaban Barat dan feodalisme, termasuk benda-benda warisan sejarah. (Kaiming, 1986: 226-227).
Akar dari kekacauan ini adalah perseteruan politik di tingkat elit pemerintahan, perbedaan ideologi menyebabkan terpecahnya kepemimpinan menjadi 2 pihak yaitu: pendukung Mao dan yang anti Mao. Masing-masing berusaha mencari massa sebanyak-banyaknya, generasi muda adalah target mereka. Dukungan rakyat merupakan legalisasi posisi seseorang dalam pemerintahan, keadaan ini dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan untuk menyingkirkan lawan-lawan mereka dari pemerintahan.
Kekuasaan tertinggi pada saat itu berada di tangan massa, yang menentukan apakah seseorang disebut revolusioner atau kontra-revolusi.  Lin Biao, salah seorang pendukung Mao menerbitkan buku saku yang sangat populer pada masa itu, terkenal dengan sebutan “buku merah kecil” (little red book), berisi kutipan-kutipan perkataan Mao, sebagai pedoman tindakan anggota Tentara Merah dan rakyat secara umum. Buku ini sengaja diterbitkan dalam upaya kultus individu terhadap Mao yang pada saat itu telah turun dari jabatan presiden, sekaligus sebagai legitimasi kekuasaan Mao (http/www. geocities.com/College Park/Library/ 6132).  Seluruh tindakan masyarakat harus didasarkan atas argumen-argumen yang kuat dan bukan atas dasar kekuatan fisik, inilah semboyan yang selalu diserukan.

DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong.....hari sabtu, 21/5/2011
http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-komunisme-china.html
http://erabaru.net/2-awal-partai-komunis-china
Ch’en, J., 1967,  Mao and the Chinese Revolution; with 37 Poems by Mao Tsetung, Trans.:M. Bullock, Oxford University Press, London
Ch’en, J., 1970,  Mao Papers: Anthology and Bibliography, Oxford University Press, London
Snow, E., 1944, Red Star Over China, 2nd. ed., The Modern Library, New York. 
Wang, J.C.F., 1976,  Values of the Cultural Revolution, dalam  Journal of Communication, vol. 27, no. 3.
Kaiming, S., 1986, Modern China: a Topical History, 2nd ed., Foreign Language Press,Beijing
Lewis, J.W., 1963,  Leadership in Communist China, Cornell University Press, New York.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong.....hari sabtu, 21/5/2011
[2] http://tokoh-ilmuwan-penemu.blogspot.com/2009/08/tokoh-komunisme-china.html
[3] http://erabaru.net/2-awal-partai-komunis-china

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...