Selasa, 23 April 2013 | 07:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -
Indonesia lelah bergerak. Indonesia mesti diam, dimuseumkan di Jakarta.
Pengalaman berindonesia tak perlu dengan pengembaraan ke desa, kota,
gunung, hutan, bukit, atau laut. Indonesia ada di Jakarta bernama Taman
Mini Indonesia Indah (TMII). Negara telah menghadirkan Indonesia kecil,
Indonesia untuk dipandangi dan dipotret meski tanpa pengisahan.
Orang-orang berdatangan melihat Indonesia. Melihat berarti tak mengalami
atau merasakan. Indonesia cukup dilihat saja. Museum-museum di
Indonesia memang untuk “tontonan”, narasi tak dipentingkan. Adab
bermuseum belum dimiliki, tapi kalangan kaum penguasa tergesa
memuseumkan Indonesia. Pada 20 April 2013, TMII berusia 38 tahun.
Selebrasi dilangsungkan dengan tema agung: “Museum Terbesar, Inspirasi
Peradaban Bangsa”.Kita sulit melupakan protes dan demonstrasi menentang pembangunan TMII. Kaum intelektual, seniman, dan mahasiswa berseru lantang, menolak ambisi besar dari penguasa untuk memuseumkan Indonesia. Indonesia belum memerlukan museum megah dan arogan. Situasi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan kultural pada masa 1970-an menghendaki kebijakan-kebijakan negara memihak kaum miskin, dan pertanggungjawaban politis serta etis atas pembangunan. Protes tak digubris. Agenda membangun museum besar dilaksanakan demi turisme. Ironis! Dana miliaran rupiah digunakan untuk membangun “arogansi” rezim Orde Baru, memamerkan diri bahwa Indonesia elok dan anggun.
Mochtar Lubis di Indonesia Raya (2 Desember 1971) menulis kecaman atas ulah para pembesar mengumpulkan uang miliaran rupiah untuk membangun museum. Pendirian TMII dianggap “tak sesuai dengan pola dasar pembangunan ekonomi dan kemakmuran rakyat”. Misi mereka adalah menaruh rumah, pakaian, patung, dan makanan dari seluruh Indonesia di anjungan-anjungan. Museum itu merepresentasikan Indonesia. Indonesia bakal memiliki miniatur, ringkasan, dan ikhtisar di TMII. Indonesia bisa ditonton dalam ritual turisme.
Sejarah
Soeharto “memperkenankan” pembangunan TMII. Hasil pembangunan bisa disajikan di museum besar dan agung. Siti Hartinah atau Tien Soeharto berperan sebagai pemimpin. Agenda ini mendapat protes, tapi tetap dijalankan atas restu penguasa. Tokoh-tokoh di jajaran kaum penentang memuseumkan Indonesia pun mesti berurusan dengan perlakuan represif aparat negara. Mereka dipenjarakan, mendapat teror, dan dimusuhi oleh pejabat. Sejarah TMII adalah sejarah protes. TMII tetap berdiri meski mengorbankan uang, darah, adab, dan martabat. Kita bakal mengingat bahwa TMII warisan paling agung dari Orde Baru.
Ambisi memuseumkan Indonesia terus berlangsung tanpa sesalan. Pada 1989, terbitlah buku berjudul Sejarah Taman Mini Indonesia Indah oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku setebal 516 halaman ini disusun oleh Suradi H.P. dkk. Indonesia berhasil dimuseumkan, berlanjut “disejarahkan” oleh kehendak kaum penguasa. Rezim Orde Baru memang hebat, mendefinisikan Indonesia dengan idiom-idiom agung berdalih pembangunan dan modernisasi. Tujuan penulisan dan publikasi buku “sejarah” itu: (1) bagi kepentingan pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan pendidikan kebudayaan; (2) bagi kepentingan pariwisata sebagai informasi kepada para pengunjung. Urusan memuseumkan Indonesia mengarah ke jagat pendidikan dan turisme. Kita pun masih ingat materi tentang TMII ada di buku pelajaran, diajarkan sebagai doktrin bernegara dan berbangsa.
Kita bisa simak uraian tentang gagasan di balik memuseumkan Indonesia. Keterangan di buku Sejarah Taman Mini Indonesia Indah terasa etis dan mulia: “Gagasan tentang pembangunan proyek yang bernilai spiritual dan pendidikan itu sesungguhnya telah lama ada pada diri Ibu Tien Soeharto.” TMII telanjur ada. Indonesia pun memiliki edisi ringkasan. Publik dianjurkan melihat Indonesia di TMII. Kunjungan mereka membuktikan kesuksesan pembangunan, juga berarti mengamalkan materi-materi di buku pelajaran. TMII ingin menjadi referensi berindonesia.
Kekuasaan
Hari-hari terus berlalu. Orde Baru telah tamat, tapi warisan agung masih mengundang ingatan-ingatan ironis. Sejarah kekuasaan sering menandai diri dengan museum dan patung. Indonesia harus dimuseumkan demi pesona. Soeharto tampil sebagai tokoh besar di balik pendirian museum-museum di Indonesia, dari museum beraroma militeristik sampai bereferensi kejawaan. Hasrat memuseumkan terus berlangsung di Indonesia abad XXI.
Indonesia berarti negeri seribu museum. Kita sering mendapati kabar-kabar sedih. Museum-museum terlantar, ada tanpa napas kehidupan. Adab bermuseum pun belum terajarkan ke publik. Museum adalah gedung tua, ruang pengap dan kotor, sepi dan keramat. Museum itu tempat kunjungan bagi turis. Anggapan-anggapan tentang museum belum mengarah ke edukasi. Misi memuseumkan Indonesia demi peradaban Indonesia cuma ungkapan agung di proposal dan brosur pariwisata. Kita sulit menerima penjelasan-penjelasan besar dari elite penguasa atas nasib museum-museum di Indonesia.
TMII masih ada, tampil sebagai museum “terbesar” di Indonesia. Pengakuan itu mengingatkan sejarah “arogansi” kekuasaan di masa lalu. Acara peringatan 38 tahun TMII juga berdalih menghormati peran Soeharto dan Tien Soeharto. Pengelola TMII melakukan ziarah ke makam Soeharto dan Tien Soeharto di Astana Giri Bangun (Jawa Tengah). Mereka ingin “merunut kembali akar museum terbesar yang kini terus mengabdi melampaui usia pencetusnya (Kompas, 20 April 2013). Museum memang mengandung pesan-pesan penguasa, ejawantah nalar kekuasaan meski bertentangan dengan kehendak publik pada saat Indonesia menapaki jalan nasib di masa 1970-an. Masa lalu itu tak menghilang, awet melalui adegan mengunjungi dan menonton museum terbesar di Indonesia.
oleh: Bandung Mawardi, PENGELOLA JAGAT ABJAD SOLO
0 komentar:
Posting Komentar