Selasa, 23 April 2013

Legalitas Ujian Nasional

TEMPO.CO, Jakarta -  Semakin nyatalah keberadaan ujian nasional kian tak mendapat tempat di hati rakyat Indonesia sebagai barometer kelulusan siswa. Bagaimana tidak, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kesebelas kali nyata-nyata mempertontonkan kegagalan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi pelaksana UN.


Lengkaplah sudah, di tengah pesimisme rakyat Indonesia atas keberadaan UN, sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) malah bikin ulah dengan pelaksanaan UN 2013 yang centang-perenang. Masih legalkah mempertahankan UN sebagai instrumentasi kelulusan siswa tahun ini?


Sejak pertama kali ujian akhir nasional (UAN) pada 2002 untuk tingkat SLTP dan SLTA yang kemudian pada 2005 berganti nama menjadi UN, banyak elemen masyarakat yang kerap menggoyang keberadaannya. Ada yang berpandangan UN menyamaratakan soal ujian di seantero Nusantara. Kota besar, seperti Jakarta, yang sekolahnya jauh lebih berkualitas, disetarakan dengan kota kecil, seperti di Papua, yang fasilitas sekolahnya masih morat-marit. Ini tidak adil.


Keberadaan UN sebagai barometer kelulusan siswa pun dirasakan telah mencoreng keadilan. Kerja keras siswa, guru, dan orang tua selama bertahun-tahun seolah hangus karena tingkat kelulusan siswa ditentukan oleh negara. Lalu, apa gunanya interaksi  guru dan siswa selama bertahun-tahun? Banyak siswa yang berprestasi di mata guru justru tidak lulus UN, sehingga banyak siswa yang berpotensi tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.


Sebenarnya berbagai aksi miring pelaksanaan UN tersebut tidak sekadar dianggap angin lalu oleh masyarakat. Masyarakat pun sudah tak percaya akan keberadaan UN. Pada 2009, beberapa elemen masyarakat beserta kuasa hukum mengajukan gugatan perdata berupa citizen lawsuit terkait dengan UN ke Mahkamah Agung (MA).


Perjuangan mereka sukses. MA mengabulkan gugatan dan memerintahkan agar UN dihentikan sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. Seharusnya, berdasarkan penegakan hukum, UN sudah tak boleh lagi dilaksanakan sampai mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pemerintah boleh kembali melaksanakan UN.


Namun, faktanya, putusan MA tersebut malah diabaikan pemerintah. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kemdikbud bertekad melakukan perlawanan hukum atas putusan tersebut. Bahkan Mendikbud Mohammad Nuh optimistis pemerintah mampu meyakinkan hakim, karena dasar-dasar pelaksanaan UN sudah sangat jelas. Sebenarnya, apa pun alasan M. Nuh, UN setelah putusan MA tersebut tidak boleh lagi dilaksanakan sampai ada kekuatan hukum yang mampu membatalkan putusan MA.


Kekukuhan Mohammad Nuh melaksanakan ujian nasional setelah putusan MA tersebut merupakan bentuk arogansi pemerintah terhadap rakyat. Sudah jelas rakyat menolak keberadaan UN, namun pemerintah tak peduli. Apakah keberadaan rakyat sudah dianggap angin lalu di mata pemerintah, sehingga tetap memaksakan kehendak yang berselubung tirani?


Kegagalan pelaksanaan UN 2013 bukan sekadar kesalahan teknis perusahaan percetakan yang gagal mencetak dan menyuplai soal ke seluruh penjuru Indonesia seperti yang diungkapkan Mendikbud. Kegagalan UN 2013 adalah cermin pembangkangan pemerintah terhadap kehendak rakyat Indonesia agar UN ditiadakan. Ini berarti pertanggungjawaban pemerintah bukan sekadar mengucapkan kata maaf kepada elemen bangsa ini. Kata maaf saja tak cukup mengobati hati rakyat yang terluka akibat pembangkangan pemerintah terhadap aspirasi rakyat.


Selain itu, pelaksanaan UN tahun ini pertanda pemerintah ingkar janji terhadap tuntutan MA agar pelaksanaan UN disempurnakan. Bukannya semakin baik, justru kisruh di mana-mana. Dalam sejarah pendidikan nasional, belum pernah terjadi pelaksanaan ujian apa pun yang sekisruh pelaksanaan UN 2013. Bayangkan saja, soal ujian yang tergolong dokumen negara yang bersifat sangat rahasia dibongkar, digandakan, dan disebarkan tak sesuai dengan batas waktu kerahasiaan yang melekat pada dokumen tersebut. Lalu, di mana sifat kerahasiaan dokumen?


Penulis benar-benar kaget ketika malam hari sebelum waktu pelaksanaan ujian harus mengawasi semalam suntuk penggandaan soal UN untuk sebuah sekolah kejuruan di Kota Sibolga. Rupanya, soal yang akan diujikan selama UN masih banyak yang kurang, sehingga panitia pelaksana ujian yang diserahi tugas sebagai koordinator UN di kota tersebut membongkar soal yang disimpan di Kantor Pos untuk digandakan di suatu tempat yang sama sekali jauh dari kerahasiaan. Siapa yang bisa menjamin soal tersebut tidak bocor, sedangkan dalam kondisi yang jauh lebih aman pun soal UN kerap bocor.


Parahnya, sampai empat hari dari pelaksanaan UN, ternyata masih banyak daerah yang belum melaksanakan UN karena soal ujian belum merata sampai ke seluruh sekolah di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan kemudian, ”Kok, tidak digandakan saja soal itu seperti di Kota Sibolga?” Siapa yang bisa menjamin mereka yang belum ujian tak memegang soal yang  telah digunakan sekolah lain yang sudah ujian.


Dengan kondisi ada sekolah yang sudah ujian dan ada yang belum ujian,  apakah masih pantas lagi dikategorikan sebagai UN? Legalitasnya sudah tak ada, dan tak pantas digunakan sebagai barometer kelulusan dan kecakapan siswa. Jelas, sungguh sangat tidak adil menyamakan hasil siswa yang ujian tepat waktu dengan siswa yang ujiannya belakangan, apalagi kalau sampai mendapat bocoran soal.


Karena menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sungguh tak pantas pula Mendikbud sekadar mengucapkan kata maaf kepada rakyat negeri ini atas kegagalannya melaksanakan UN 2013. Apalagi, beliau secara terang-benderang melanggar putusan MA yang melarang pelaksanaan UN. Tanpa menunggu putusan presiden mencopotnya pun, sesungguhnya M. Nuh telah ilegal sebagai Mendikbud, sebagaimana hasil UN 2013 yang legalitasnya layak dipertanyakan.


Oleh: Arfanda Siregar, dosen Politeknik Negeri Medan; Satuan Pengawas Pendidikan Ujian Nasional

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...