Tata
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang baik bukan hanya
tergantung pada awak aparatur negara melainkan juga tergantung pada
rakyatnya. Oleh karena itulah kualitas rakyatpun harus dirancang agar
mempunyai karakter yang tanggon, tanggap dan trengginas serta disiplin.
Visi ini bukan hanya untuk visi di lingkungan Akademi Militer saja
melainkan harus diterapkan kepada seluruh manusia Indonesia. Oleh karena
itu, perlu konsepsi tentang nation character building/rekayasa
sosial/social engineering. Social engineering diperlukan untuk membentuk
watak rakyat agar memiliki kualiatas tanggon, tanggap dan trengginas
serta disiplin.
1. TANGGON.
Bagaimana mendidik / mencetak rakyat yang tanggon, ulet dalam segala
usaha untuk mewujudkan keinginananya. Pembelajaran dan pelatihan dini
sejak lahir. Peranan orang tua, peran lingkungan tempat tinggal, peran
lingkungan sekolah dan peran lingkungan tempat kerja semua merasa
terpanggil untuk menjadikan manusia disekitarnya menjadi manusia yang
ulet/tangguh/tanggon.
2. TANGAP.
Bagaimana mencetak rakyat yang tanggap/reaktif terhadap hal-hal yang
baik. Kembali ke pendidikan, pengajaran dan pelatihan merupakan wahana
yang tepat dalam mencetak rakyat yang tanggap. Rakyat juga tidak bisa
didesign agar tanggap dengan menggondol gelar akademik saja tetapi
direkayasa agar mempunyai kemampuan dalam menyiasati segala cara guna
memperoleh kemudahan dalam menjalani hidup dan kehidupannya beserta
kelompoknya, sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang indah, mudah dan
tidak goyah. Komposisi rakyat tetap harus seperti kerucut. Mengacu
kepada teory Paretho Law dalam inventory, maka strata 3 (masyarakat
golongan atas ) sekitar 15 %, strata 2 dan 1 ( masyarakat golongan
menengah) sekitar 35 % dan strata 0 atau yang lebih rendah (masyarakat
golongan bawah) sekitar 50 %. Komposis ini perlu dijaga agar distribusi
tenaga kerja juga dapat tersalur sesuai kebutuhan. Jika komposisi ini
berubah tanpa diikuti dengan perluasan lapangan kerja, maka akan terjadi
kepincangan atau pengangguran terselubung, artinya kualitas pendidikan
yang lebih tinggi menangani pekerjaan yang berada di strata bawahnya.
Misalnya manusia tingkat pendidikan S1 menangani pekerjaan strata
dibawahnya yang seharusnya hanya dikerjakan oleh manusia dengan
kualifikasi lulusan Sekolah Menengah.
Jadi
mencetak rakyat yang tanggap adalah membentuk kwalitas rakyat agar
menguasai bidang tugasnya/bidang pekerjaannya/profesional pada
profesinya. Semua rakyat mempunyai profesi untuk memperoleh take home
pay yang layak untuk menikmati hidupnya. Gerakan mencetak manusia yang
tanggap digemakan disemua lingkungan, lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan lingkunga pekerjaan baik
SWTsta maupun pemerintah. Gerakan semacam ini bukan hanya ditatarkan,
diseminarkan dan dipidatokan melainkan ditata dengan bingkai peraturan
dan perundangan yang aplikatif. Peranan dan kreatifitas awak legislatif
sangat menentukan keberhasilan dalam membuat bingkai-bingkai dan
rambu-rambu untuk mencetak rakyat yang tanggap.
3. TRENGGINAS.
Trengginas bukan berarti manusia yang mempunyai pisik yang utuh dan
lengkap, namun trengginas dalam arti dinamis dalam menyikapi hidup yang
penuh tantangan. Untuk dapat bersikap dan berperilaku trengginas sudah
barang tentu harus diawali dengan memiliki sikap tanggon dan tanggap,
aplikasinya didukung semangat tentu akan trengginas. Trengginas tanpa
dikuti tanggap menjadi pekerja keras tanpa konsep alias ngawur (Hard
Worker ). Trengginas tanpa dikuti tanggon, cepat putus asa (childess) .
Oleh karena itu rakyat harus mempunyai kwalitas tanggon, tanggap dan
trengginas ( Super Power ). Untuk itu, manusia perlu dibentuk
karakternya, bukan dibiarkan tumbuh liar. Penulis pada awalnya
beranggapan bahwa manusia Indonesia sebagai orang timur, dikatakan
lembah lembut, sopan santun, namun setelah membaca sejarah pertempuran,
perang, berbagai pembrontakan PKI di Madiun dan melihat kekejaman G.30 S
/PKI beserta upaya penumpasannya, perilaku demonstran sewaktu
menumbangkan Orde Baru dan perilaku sebagian manusia Indonesia dalam
melampiaskan ketidak puasannya dengan perilaku seperti manusia Barbar
penuh kekerasan, teror bom, saling memfitnah, saling menculik, saling
bunuh-membunuh dan seterusnya, penulis menjadi semakin heran, salah
siapa ? Bagaimana para pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kehidupan
bangsanya ? Bagaimana peran pendakwah agama, kyai /ustad /pasteur/
pendeta/ ulama, bagaimana peran para guru/dosen, bagaimana peran para
orang tua, bagaimana peran para pemimpin organisasi ? Pak/bu RT, pak/bu
RW, pak/bu Lurah, Pak/bu Camat, Pak/bu Bupati / Walikota, Pak/bu
Gubernur, pak/bu Presiden, pak/bu Jaksa, pak/bu Hakim, pak / bu
Pengacara, pak bu anggora Dewan yang terhormat, pak/bu prajurit TNI,
pak/bu anggota Polri, pak/bu awak perbankan, pak / bu LSM dan pak / bu
pemimpin parpol. Semua klise, semua semu semua tidak fair. Di
lingkungan manusia Indonesia terjadi krisis moral, krisis pemimpin pada
tingkat nasional beserta kepemimpinannya, kehilangan pedoman dan
pandangan hidupnya, kebingungan mencari bentuk/ identitas dan
sebagaimya. Apakah memang ini sudah menjadi takdir Allah SWT dalam
memproses kepunahan manusia NKRI ??? . Ternyata kita memerlukan
Disiplin Nasional dan Kepemimpinan Sejati. Bagaimana Aparatur negara
dapat memiliki pola pikir dan pola tindak yang disiplin serta mahir
mengaplikasikan Kepemimpinan Sejati ?
4. DISIPLIN NASIONAL. Gerakan
Disiplin Nasional ( GDN ) pernah dicanangkan oleh pemimpin pemerintah
Orde Baru/ Presiden Suharto pada tanggal 20 Mei 1995, bertepatan dengan
peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan pernah dimasukan kedalam krida
kedua dari Panca Krida Kabinet Pembangunan VI yang berbunyi :”
Meningkatkan Disiplin Nasional yang dipelopori oleh Aparatur Negara
menuju terwujudnya Pemerintah yang bersih dan berwibawa dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat “ [1].
Krida kedua ini apa ada yang salah, mengapa dalam era reformasi
ditenggelamkan ke laut dan tidak pernah terdengar lagi. Menurut penulis
konsepsinya sangat baik tetapi aplikasinya belum tepat sehingga perlu
penyusunan konsep pengamalannya, bukan di buang begitu saja.
Disiplin bukan monopoli TNI. Disiplin dalam pengertian ketaatan manusia
Indonesia kepada peraturan negara (peraturan Kepala Negara,
peraturan eksekutive, peraturan yudikative, peraturan legislative,
peraturan TNI dan peraturan perbankan yang berlaku, secara ikhlas tanpa
paksaan. Dikatakan tanpa paksaan, karena belum tentu
peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan keinginan sebagian kecil
manusia. Manusia yang tidak setuju atau merasa terbelenggu oleh aturan
akan bereaksi membangkang an atau melanggar secara-sembunyi-sembunyi.
Oleh karenanya, perlu coersive dalam rangka law enforcement . Disinilah
perlu tangan besi untuk dapat menegakan peraturan yang telah disepakati
tanpa pandang bulu. Hukum dan peraturan berlaku umum / general, bukan
berlaku khusus, maka setiap manusia berkedudukan sama dimuka hukum. Law
enforcement hanya bisa terlaksana dengan paksaan, disamping dengan
contoh teladan, diskusi, demokrasi, kebapakan dan sebagainya. Sepanjang
paksaan untuk kepentingan mayoritas rakyat yang telah disepakati oleh
sebagian besar rakyat (demokrasi), penulis percaya akan didukung oleh
rakyat. Penegakan peraturan tidak perlu gamang, namun jika masih ada
yang kebal terhadap peraturan ( Birokrasi Jarkoni mengajar tetapi
Nglakoni, mendidik larangan tetapi dia sendiri melakukan pekerjaan yang
dilarang tersebut), maka lemahlah hukum/ peraturan tersebut. Taat azas /
Law abiding Principle harus dibiasakan kepada rakyat dan aparatur
negara supaya rakyat sendiri dan aparatur negara tidak mau melanggar
peraturan dan perundangan yang berlaku. Pengalaman penulis sewaktu
belajar di luar negeri, jika kawannya mengajak melanggar peraturan
misalnya membeli senjata tanpa Hunting Lisence diurus dulu, dia langsung
mengatakan :” Don’t break the rule sir ! “. Mereka ternyata
mengimplementasikan saling asah, saling asuh dan saling asih.
Saling asah, karena selama penulis di luar negeri didampingi oleh
sponsor akademi yang selalu membimbing penulis dalam menyusun kata dan
kalimat produk-produk tertulis agar tidak terlalu menyimpang dari tata
bahasa negara tersebut.
Saling asuh, karena selain sponsor akademik penulis juga diberi Sponsor
Sosial yang bertugas membimbing penulis agar tidak mempunyai kesan atau
perilaku seperti di film-film dari negara mereka. Mereka mengatakan
bahwa perilaku antara yang ada di film dengan kenyataan, berbeda dan
jangan terkecoh oleh perilaku para bintang film yang memang untuk
konsumsi hiburan.
Saling
asih, penulis diperlakukan seperti saudara, kuliah djemput ke Bachelor
Office Quarter (BOQ), dan selesai kuliah diantar kembali ke BOQ.
Bangsa asing tidak memiliki semboyan saling asah, saling
asuh dan saling asih, tetapi ternyata dalam kehidupannya mengamalkan
semboyan tersebut. Demikian pula bangsa asing tidak membaca Al Qur’an
tetapi mereka mempraktekan ayat-ayat Al Qur’an, seperti ucapan :” It’s
your bisnis Sir atau It’s my bisnis Sir “ mengandung makna bahwa itu
urusan anda. Hal ini seperti yang tercantum dalam Al Qur’an surat ke 17
Al Israa( Perjalanan Malam ) ayat 7 :” Jika kamu berbuat kebaikan (
berarti ) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat
kejahatan, maka ( akibatnya ) bagi dirimu sendiri...... “ Masalah
–masalah pribadi diserahkan kepada pribadi masing-masing sedangkan
masalah yang menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia dan
antara manusia dengan lingkungannya menggunakan hukum nasional. Salah
satu masalah yang sangat pribadi adalah agama dan pemahaman terhadap
hal-hal berkaitan dengan rochani. Inilah yang tidak boleh diganggu dan
merupakan urusan pribadi masing-masing / hak asasi manusia. Begitu juga
mereka selalu mengejar ilmu pengetahuan dan teknologi baru untuk
kehidupannya tanpa mengenal menyerah. Hal ini merupakan aplikasi /
pengamalan Surat ke 55 Ar Rahmaan (Yang Maha Pengasih) ayat 33 : “ Hai
sekalian Jin dan Manusia, jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuru
langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak bisa menembusnya melainkan
dengan kekuatan “ Kekuatan disini harus dijermahan sebagai ilmu
pengetahuan dan teknologi, agar manusia dapat menjelajah penjuru langit
dan bumi. Manusia Indonesia yang mempunyai Al Qur’an belum dapat
mengamalkan ayat tersebut. Inilah yang sebetulnya harus diperjuangkan
oleh umat mayoritas bangsa Indonesia, bukan memaksakan untuk stagnasi
budaya dan stagnasi hukum. Hukum dan budaya adalah dinamis sesuai dengan
dinamika bangsa dan abstraksi generasi penerusnya terhadap perkembangan
budaya manusia kotemporer dan budaya di masa yang akan datang.
Disiplin nasional tentunya harus diawali dari disiplin
individu. Akumulasi disiplin individu menjadi disiplin kelompok dan
seterusnya akumulasi disiplin kelompok berujung pada terwujudnya disipli
nasional. Disiplin individu dan atau disiplin kelompok tidak dapat
terwujud hanya dengan himbaun, pembiaran, dan berjalan alami, tetapi
harus dengan tindakan tegas dan lugas dalam mengaplikasikan peraturan
dan perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan tentang kehidupan
manusia juga harus lengkap sebagai kriteria dan rambu-rambu sikap dan
perilaku yang baik dan yang jelek. Untuk mencapai disiplin individu,
disamping menggunakan metode coersif, juga dengan metoda saling, asah,
saling asuh dan saling asih. Melalui pendekatan logika, manusiawi dan
pengetrapan berbagai gaya kepemimpinan di setiap strata organisasi
apapun di setiap jalur lingkungan sosial maka realisasi disiplin
nasional akan terwujud.
Sumber : H.Koestomo. M.Sc
0 komentar:
Posting Komentar