Filosofi tersebut termuat dalam Dokumen Rencana Strategis Jawa Timur yang sering diucapkan dalam berbagai kesempatan oleh Gubernur Jawa Timur pada masa itu, Bapak H Imam Oetomo. Entah siapa penciptanya bagi saya yang lahir berbudaya Jawa, motto tersebut pas sekali untuk diterapkan sebagai nilai-nilai moral dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh manusia, bersama manusia, untuk manusia.
Tujuan kita adalah “Agawe Karya”,
membangun untuk kesejahteraan rakyat. Pembangunan dilaksanakan oleh
semua orang, tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta, lembaga
kemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri. Pembangunan tidak mungkin
dilaksanakan sendiri atau sendiri-sendiri, tetapi harus bersama, melalui
kerjasama semua pihak. Pembangunan harus “pro rakyat” dan “inklusif”
melibatkan semuanya.
Supaya
semua berpartisipasi aktif tentunya harus diciptakan “Visi Bersama”
atau “Shared Vision”. Supaya “Visi Bersama” bisa tercipta tentunya harus
ada kebersamaan, dan kebersamaan tidak akan tercipta kalau tidak ada
rasa cinta diantara aktor-aktor pembangunan. Dengan demikian ada kata “Mijil Tresna” dalam motto pembangunan tersebut: Menumbuhkan kasih sayang antar sesama. Kokoh dan kompak, barulah kita mampu “Agawe Karya”
“Seje kuncit seje anggit”
sebuah peribahasa Jawa yang artinya “lain kepala lain pendapat”. Tidak
ada orang yang pendapatnya sama. Kita harus mampu memahami, paling tidak
mampu memberikan empathy kepada orang lain. Kita harus memahami
kehendak rakyat, memahami harapan stakeholders, termasuk juga memahami
rekan-rekan lintas sektor, lintas program bahkan teman satu program.
Perbedaan pendapat dalam era keterbukaan yang semakin dinamis tentusaja dimungkinkan, Beda pendapat bukanlah malapetaka, justru untuk menajamkan sasaran. Mungkin kita salah, mungkin saja semua benar hanya sudut pandangnya yang beda. Memang ada orang yang “waton sulaya” tetapi ini hanyalah kasuistik. Untuk itu kita harus mampu “Among Rasa”, mampu ngemong perasaan orang lain, memahami pendapat orang lain. Andaikan toh hati panas, kepala tidak usah terbakar.
Perbedaan pendapat dalam era keterbukaan yang semakin dinamis tentusaja dimungkinkan, Beda pendapat bukanlah malapetaka, justru untuk menajamkan sasaran. Mungkin kita salah, mungkin saja semua benar hanya sudut pandangnya yang beda. Memang ada orang yang “waton sulaya” tetapi ini hanyalah kasuistik. Untuk itu kita harus mampu “Among Rasa”, mampu ngemong perasaan orang lain, memahami pendapat orang lain. Andaikan toh hati panas, kepala tidak usah terbakar.
Among rasa tanpa dilandasi niat baik tentunya tidak gampang. Orang harus punya bekal “Tepa Slira”
menempatkan segala sesuatunya sesuai ukuran diri kita. Kalau kita tidak
suka ya jangan memperlakukan orang sesuka kita. Oleh sebab itu kita
harus mampu “Nata Rasa”.
Menata perasaan kita terlebih dahulu sebelum memulai langkah. Kita harus
siap walaupun menghadapi hal terburuk, bukan dengan bertempur
mati-matian mempertahankan benarnya sendiri, melainkan untuk menyamakan
visi.
“Nata Rasa” menghadapi masyarakat yang beraneka ragam dan dinamis bukanlah sesuatu yang mudah. Masih lebih mudah “nata rasa” waktu dipanggil pimpinan. Hanya ada tiga kemungkinan dengan singkatan 3D: diDangu (ditanya), diDhawuhi (diberi tugas) dan diDukani (dimarahi). D yang keempat tidak saya masukkan karena terlalu enak: diDhuwurake pangkate (dinaikkan pangkat/jabatan)
“Nata Rasa” menghadapi masyarakat yang beraneka ragam dan dinamis bukanlah sesuatu yang mudah. Masih lebih mudah “nata rasa” waktu dipanggil pimpinan. Hanya ada tiga kemungkinan dengan singkatan 3D: diDangu (ditanya), diDhawuhi (diberi tugas) dan diDukani (dimarahi). D yang keempat tidak saya masukkan karena terlalu enak: diDhuwurake pangkate (dinaikkan pangkat/jabatan)
Sumber : Iwan Muljono
0 komentar:
Posting Komentar