Selasa, 23 April 2013 | 07:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta
- Masa pendaftaran calon anggota legislatif yang dibuka sejak 9 April
2013 dan ditutup pada 22 April 2013 berpotensi menjadi ajang pencalonan
para koruptor masa depan. Betapa tidak, beberapa partai politik
“memajang” muka lama yang diduga bermasalah hukum, terutama korupsi,
dalam jajaran calon anggota legislatif. Bahkan sejumlah legislator yang
kerap dikaitkan dengan berbagai kasus dugaan korupsi kembali dicalonkan
dalam Pemilu 2014 (Koran Tempo, 15/4).Di tengah sulitnya partai politik menghadirkan calon alternatif, momentum pencalegan ini berpotensi untuk dibajak oleh elite yang memiliki kekuatan modal yang kuat. Kekuatan pembaru dari kalangan internal yang menghendaki perubahan di dalam partai politik sendiri juga tidak bisa berbuat banyak, karena sangat bergantung pada struktur kepengurusan yang mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan. Proses pencalonan ini patut terus dikawal oleh publik guna menjegal para politikus busuk yang menggunakan mesin politik untuk kepentingan koruptif. Salah satunya dengan cara memperkuat pengetahuan publik akan rekam jejak calon tersebut.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 51 hanya merumuskan persyaratan umum. Misalnya, hanya terkait dengan usia calon, kecakapan berbicara, menulis dan membaca, berpendidikan minimal sekolah menengah atas, dan seterusnya. Undang-undang sama sekali tidak menyebutkan persyaratan spesifik yang ditujukan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya di lembaga legislatif.
Padahal pelaksanaan tugas di lembaga legislatif membutuhkan spesifikasi keilmuan dan pemahaman tentang tugas-tugas legislasi, setidaknya dalam ranah pembuatan dan perumusan undang-undang (legislation), penganggaran (budgeting), dan pengawasan. Jika merujuk pada hal tersebut, persyaratan yang diatur dalam undang-undang sangat jelas tidak memenuhi kualifikasi seorang anggota legislatif.
Di sisi yang lain, hal yang berhubungan dengan integritas calon anggota legislatif tidak dicantumkan sebagai syarat utama. Dalam undang-undang, persyaratan hanya memuat tiga hal umum yang berhubungan dengan (i) ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (ii) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; dan (iii) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Persyaratan ini jelas tidak memberikan kepastian mengenai ukuran apa yang digunakan untuk menilai sejauh apa seorang calon memenuhi kriteria tersebut, kecuali terhadap prasyarat soal penjatuhan pidana. Undang-undang menyerahkan penafsiran sepenuhnya kepada partai politik dan penyelenggara pemilu untuk menafsirkan persyaratan tersebut. Maka perdebatan yang muncul kemudian adalah, apakah partai politik dan penyelenggara pemilu memiliki kapasitas untuk menilai misalnya soal tingkat ketakwaan seseorang?
Maka hampir bisa dipastikan bahwa semua persyaratan calon anggota legislatif yang dimandatkan dalam undang-undang hanya memuat standar minimalis personal yang sama sekali tidak menjamin soal kapasitas intelektual dan integritas untuk menjalankan fungsi-fungsi di lembaga legislatif. Maka apa yang bisa diharapkan terhadap para calon legislator ketika mereka terpilih dan menduduki jabatan sebagai wakil rakyat?
Calon koruptor
Rendahnya standar atau persyaratan untuk menjadi anggota legislatif seakan menyiratkan kondisi lembaga legislatif saat ini. Bobroknya kinerja dan moral anggota legislatif seakan berbanding lurus dengan kapasitas intelektual dan moral anggotanya. Untuk itu, perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk mendorong, agar para calon anggota legislatif betul-betul dipilih dan ditetapkan berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya. Maka partai politik sebagai sarana rekrutmen politik warga memiliki peran yang sangat besar untuk menghasilkan calon anggota legislatif yang mumpuni tersebut.
Partai politik sudah semestinya membuka ruang bagi publik untuk bisa menilai bakal calon anggota legislatif sebelum ditetapkan sebagai calon anggota legislatif. Mekanisme ini harus disusun untuk membuktikan bahwa partai politik telah terbuka dalam melakukan seleksi. Di lain pihak, partai politik juga harus menetapkan standar yang ketat, baik dari sisi kemampuan intelektual yang terkait dengan tugas-tugas legislasi maupun yang berkaitan dengan standar moral. Selama ini calon anggota legislatif yang tidak memahami tugasnya di kemudian hari akan berimbas pada rendahnya kinerja mereka di lembaga legislatif.
Rekam jejak (track record) calon juga patut ditelusuri untuk melihat apakah calon anggota legislatif memiliki pengalaman yang berhubungan dengan tugas-tugas kemasyarakatan atau tidak. Karena pada prinsipnya akan sangat tidak mungkin seseorang yang tidak memiliki pengalaman berinteraksi secara intens dengan masyarakat, akan menempati jabatan sebagai representasi publik.
Terakhir, partai politik harus membuat komitmen di awal proses pencalonan ini dengan para calon anggota legislatif. Komitmen tersebut berkaitan dengan standar etika dan moral apabila yang bersangkutan dijadikan tersangka atas sebuah tidak pidana, terutama korupsi. Penetapan status tersangka harus diikuti dengan pemberhentian tetap yang bersangkutan dari partai politik. Maka dengan sendirinya jabatan anggota legislatif yang diemban harus ditinggalkan. Selama ini standar moral dan etika partai politik menjadi sangat rendah, terutama ketika berhadapan dengan kasus korupsi. Maka partai mesti membenahi semua hal di atas agar daftar calon anggota legislatif yang disodorkan ke hadapan publik bukanlah daftar calon koruptor. Semoga!
Oleh: Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar