Ini juga pitutur yang
menggunakan “Purwakanthi”. Kalau di Indonesiakan malah susah dan kalau
bisa maka “purwakanthi”nya hilang sekaligus menjadi panjang
kata-katanya. Saya coba cocokkan dengan “Bausastra Jawa”,
Poerwadarminta, 1939 dan memang maknanya “mathuk” (cocok) untuk
digunakan para pelaksana tugas.
TATAG:
Artinya tidak memiliki rasa “sumelang” atau was-was. Orang seperti ini
akan selalu “siap” melaksanakan tugas. Walaupun uang jalannya kecil,
sarana terbatas dan medan sulit, ia tidak gentar.
TETEG:
Artinya kokoh, tidak tergoyahkan. Hujan badai tidak akan
menggoyahkannya. Selama kakinya masih bisa berdiri tegak, ia akan tetap
bertahan.
“Tatag” dan “Teteg” mewakili
keberanian dan semangat. Walau demikian keberanian dan semangat harus
didukung kemampuan. Oleh sebab itu kita melangkah lebih lanjut:
TANGGUH:
Sebilah keris pusaka dikatakan memiliki “tangguh”, artinya memiliki
“karakter” sekaligus “kekuatan” sesuai dengan karakternya. Seorang yang
tangguh tentusaja punya ilmu yang didukung karakter.
TANGGON:
Artinya dapat diandalkan. “Tangguh” saja, kalau tidak dapat diandalkan
tentunya percuma. Umumnya orang tangguh dapat diandalkan, dan kalau kita
mengandalkan seseorang, pastilah orang tersebut “tatag, teteg dan
tangguh”
TANGGAP:
Orang yang tanggap artinya mampu mendengar, mengerti apa yang didengar
dan melaksanakan apa yang seharusnya dia lakukan dengan benar. Jaman
sekarang tugas pada umumnya jelas, tetapi jaman dulu banyak yang tidak
jelas, sehingga kita kenal istilah “Tanggap ing sasmita”,
paham dengan isyarat. Bisa saja seseorang dapat diandalkan atau
“tanggon” tetapi kurang “tanggap” sehingga terlambat atau salah
persepsi.
TUTUG:
Artinya sampai pada tujuan, selesai dan tuntas. Kalau kita suka
mengikuti pagelaran wayang sering kita dengar perintah raja: “Aja
pati-pati bali yen durung ...... “ (Jangan sekali-kali pulang kalau
belum ........ “).
Seorang ksatria yang “tatag”
tidak akan banyak bicara lagi kecuali mengatakan: “Nuwun inggih
ngestokaken dhawuh” (Siap, kerjakan). Berangkat tanpa menoleh ke kanan
kiri lagi. Di perjalanan ternyata dihadang raksasa. Ia tetap “Teteg”
tidak akan mundur. Dengan ke”tangguh”annya ia mengalahkan semua raksasa.
Oleh sebab itu ia seorang ksatria yang “tanggon”, dapat diandalkan.
Selanjutnya karena ia ksatria yang “tanggap” ia dapat melaksanakan tugas
pokoknya dengan benar dan “tutug”.
“Tatag, teteg, tangguh, tanggon
dan tutug” adalah “panyandra” untuk seorang ksatria dalam kisah-kisah
heroik, di dunia pewayangan, yang sebenarnya menyampaikan pesan kepada
kita semua untuk meneladani. Kita masing-masing punya idola wayang
tertentu. Banyak diantara kita yang memasang wayang tersebut di dinding
rumah kita. Misalnya Gatotkaca, Bima, Harjuna dan lain-lain, tetapi
karakternya ternyata tidak kita ikuti. Untuk apa? (IwMM)
Sumber : Iwan Muljono
0 komentar:
Posting Komentar